Aroma lilin dibakar memenuhi bubungan. Hari telah sore, tetapi rumah yang juga sanggar di desa Bumiaji, Batu, Malang masih riuh dengan celoteh anak-anak yang asyik menarikan canting berisi malam panas ke atas kain bakal. Motif Bantengan memenuhi sebagian area kain. Mereka asyik membatik.
Sementara seorang perempuan bernama Anjani Sekar Arum sedang berkeliling memperhatikan dan sesekali memberikan arahan pada anak-anak yang sedang menggambar motif batik pada kain kosong.
"Kain Indonesia sangat menakjubkan. Dari keindahan dan motifnya, sampai cara mengerjakannya adalah karya seni yang agung."--Dian Sastro Wardoyo--
Lahir dari keluarga seniman, Anjani tumbuh dengan darah seni yang begitu kental membanjiri dirinya. Ayahnya, Agus Tubrun adalah seniman yang berhasil menghidupkan kembali kesenian Bantengan yang lama mati suri. Saat ini kesenian Bantengan bergeliat dengan lebih dari 250 grup yang beranggotakan kurang lebih 40 orang per grup dan mampu menghadirkan festival yang digelar tiap tahun dengan nama "Kirab Banteng Agung Joyo Nuswantara".
Setiap peluang muncul dari permasalahan yang dialami. Seperti itulah yang menjadikan Anjani sukses seperti saat ini. Batik yang dinamai Banteng Agung merupakan proyeksi dari kekhawatiran Anjani pada kelanjutan tradisi Bantengan asli Batu. Selain itu juga bagaimana ekonomi masyarakat kota Batu nanti jika hanya mengandalkan wisata saja sebagai pegangan hidup.
Menurutnya sektor wisata sangat bisa mengalami penurunan, karena banyaknya tempat wisata baru yang muncul. Anjani ingin mewujudkan sebuah maestro khas Batu. Anjani pernah melukis ketika masih kecil, maka Batik dipilih sebagai kanvas tempatnya berkreasi. Sebutan "Anjani Bantengan" sudah melekat pada dirinya sejak lama. Karena ketika kuliah di Universitas Negeri Malang, Anjani kerap menjadikan kesenian Bantengan sebagai ciri khas tugas-tugasnya.
"Batik adalah nilai-nilai tradisi, warisan budaya yang divisualkan".
Motivasi utama Anjani bisa menyamai kesuksesan ayahnya yang berhasil menghidupkan geliat kesenian Bantengan. Kalau bisa bahkan ingin menyaingi kesuksesan tersebut. Namun cara yang diambil Anjani memang unik. Gender dengan feminimitas dijadikan sebuah priviledge baginya untuk teguh pada tujuan membuat batik khas Batu.
"Batik adalah identitas dari sebuah wilayah. Saya miris bahwa kota saya tidak memilikinya. Itu sebabnya saya membuat motif Banteng Agung sebagai motif batik khas Batu sebagai identitas". --Anjani Sekar Arum--
Membatik adalah proses panjang yang dilakoni Anjani sejak usia 19 tahun. Mimpi utamanya saat itu adalah menggelar pameran tunggal. Pameran tunggal semacam rite de passage bagi Anjani sehingga bisa disebut sebagai seniman.. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ibaratnya karena mimpi sudah dilangitkan tinggi-tinggi, meski banyak tawaran untuk menjadi dosen dan melanjutkan studi, Anjani tetap memilih untuk menyiapkan karya untuk pameran tunggalnya.
Tahun 2014 bertempat di Galeri Raos kota Batu, Anjani akhirnya berhasil mengenalkan dan memamerkan 54 kain batik buatannya yang mengusung motif Banteng Agung pada masyarakat. Tidak disangka, respon masyarakat sangat bagus. Dari semua kain yang dipamerkan ludes terjual dan hanya menyisakan 1 lembar kain saja.
Beruntung kain batik buatan Anjani dilihat oleh Dewanti Rumpoko, istri wali kota Batu saat itu dan diberi tawaran untuk ikut pameran di Praha, Republik Ceko. Dalam waktu yang singkat itu dua minggu sebelum berangkat, Anjani hanya mampu membuat 10 lembar kain saja untuk pameran pertamanya di luar negeri.
"Waktunya singkat sekali, jadi hanya 10 lembar kain batik itu yang bisa saya produksi. Tetapi saya bersyukur meski banyak kendala, batik Banteng Agung bisa masuk ke pasar internasional". Kata Anjani.
Kesuksesan Anjani pada pagelaran di Praha diganjar dengan paten batik Banteng Agung sebagai motif batik khas Batu oleh walikota Batu.
Tekad Anjani untuk terus melestarikan warisan budaya lokal, yaitu Bantengan sebagai motif batik khas Batu dipresentasikan dalam bentuk sebuah wadah berupa galeri dan sanggar di dekat alun-alun kota Batu. Seiring waktu galeri dan sanggarnya makin berkembang, dan muncullah masalah baru, yaitu kekurangan lahan.
Tahun 2018 dimulai dengan keputusan berat menutup galeri di kota Batu dan memindahkannya ke Bumiaji. Desa tempat Anjani tinggal. Kebutuhan akan sanggar dan galeri yang lebih layak membawanya kembali ke tempat dia berasal.
Kepulangan Anjani ke Bumiaji, seperti membawa pulang batik Banteng Agung. Anjani adalah segala hal yang dibutuhkan Bumiaji. Sebagai desa Wisata di kaki gunung Arjuno, Bumiaji memiliki spot wisata paling banyak di kota Batu. Juga dijuluki sebagai penghasil apel terbaik.
Bumiaji punya segalanya yang dibutuhkan seniman, dan Anjani mampu menjadi pelengkap dari apa yang kurang di Bumiaji, yaitu seniman penggerak sosial. Dikelilingi oleh seniman Bantengan akan mendongkrak semangat dan kreativitas Anjani. Semakin banyak pula ragam corak batik Banteng Agung yang akan dihasilkan.
Dengan demikian cita-cita Anjani menjadikan Bumiaji sebagai desa wisata budaya semakin besar berpeluang untuk sukses. Bumiaji akan semakin berkembang dengan adanya agrowisata, wisata alam dan wisata budaya.
"Banteng Agung telah pulang ke tempat seharusnya, tempat dimana semuanya berasal".--Anjani Sekar Arum--
Keberhasilan Anjani menggelar pameran tunggal hingga kain batik buatannya ludes terjual dan dilirik ibu wali kota saat itu untuk ikut pameran di Praha menciptakan satu tantangan baru. Anjani paham bahwa sulit sekali mencari perajin batik di daerahnya.
Hidup di daerah yang bukan basic pembatik memang akan sangat sulit mencari perajin batik yang bagus. Ini menyebabkan Anjani hanya bisa menyelesaikan pembuatan kain batik untuk dibawa ke Praha dalam jumlah yang sangat kecil.
Beruntung Anjani bertemu dengan Alya, gadis cilik cerdas yang tertarik untuk bisa membatik. Karena keseriusan Alya belajar membatik, Anjani pun dengan senang hati mengajarkan pelan-pelan karena membatik adalah sebuah proses panjang menghasilkan sebuah karya. Nyatanya Alya mampu memahami dan beradaptasi dengan proses panjang tersebut dan berhasil menghasilkan kain-kain batik khas karya tangannya mulai dari desain sampai proses akhir. Dari Ayla kemudian lahir pembatik-pembatik cilik lain yang meramaikan sanggar Andhaka milik Anjani.
Para pembatik cilik sanggar Andhaka Sumber: kompas.com |
Keuntungan berlipat didapat. Selain menghasilkan para perajin batik yang berkualitas dari pembatik cilik sekaligus juga ikut serta melestarikan budaya pada generasi muda.
Setelah merasa cocok dengan para pembatik cilik tersebut, Anjani bisa leluasa menggenjot produksi batik Banteng Agung sesuai dengan permintaan yang didapat.
Batik Banteng Agung telah mendapat legitimasi sebagai batik khas Batu. Oleh sebab itu seluruh pegawai di kota Batu wajib memakai batik motif Banteng Agung sebagai seragam dinas harian. Tentu saja hal tersebut ikut serta meningkatkan permintaan kain batik dari sanggar Anjani.
Awalnya hanya ingin mentranskripsikan kesenian Bantengan dalam kanvas lain agar tidak tergerus jaman, akhirnya justru mampu meraup keuntungan berlipat dari kain-kain batik hasil produksi sanggar.
Ada dua macam kain batik yang diproduksi oleh sanggar Andhaka, yaitu batik tulis dan batik cap. Untuk batik cap dijual dengan kisaran harga Rp. 145.000 per meter dan batik tulis antara Rp. 350.000 sampai Rp. 3.000.000 per meter.
Karena rata-rata perajin batik Anjani adalah anak-anak, biasanya Anjani akan langsung membagikan uang hasil penjualan kain batik pada mereka ketika kain yang dihasilkan berhasil dijual.
Kata Anjani meski produk batik yang dihasilkan tak jarang memiliki "cacat" karena diproduksi oleh anak-anak, tetapi justru "cacat" tersebut menarik minat pembeli karena unik.
Tak jarang banyak yang berkomentar tentang harga kain batik yang terbilang mahal. Padahal memang kain batik yang dihasilkan adalah kain berkualitas.
"Yang kami jual bukan kain batik, tetapi batik. Yang kami jual adalah prosesnya, bukan hasilnya".--Anjani Sekar Arum--
Seperti yang kita tahu, membatik adalah sebuah proses panjang yang butuh ketekunan dan kesabaran untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Sanggar Andhaka semakin lama semakin ramai dengan banyaknya inovasi yang dilakukan Anjani. Awalnya hanya memproduksi dan menjual kain batik, saat ini mulai juga dengan membuat produk turunan batik seperti baju, tas, sepatu, dan yang lain. Selain itu Anjani juga membuka kelas edukasi membatik bagi siapa saja yang ingin belajar membatik.
Wisata edukasi membatik yang ditawarkan mencakup eksplorasi kultural yaitu sejarah, norma kultural, nilai-nilai estetik yang ada pada tiap guratan batik sampai proses pembuatan batik Banteng Agung. Untuk semua hal yang di dapat tersebut, Anjani hanya mematok harga Rp. 100.000 per siswa. Nantinya uang tersebut digunakan untuk memutar kembali modal (membeli alat-alat membatik).
Secara tidak langsung jiwa seni yang dimiliki Anjani tidak hanya menjadikannya sebagai seniman namun juga wirausahawan yang berhasil menciptakan peluang kerja bagi masyarakat sekitar dan turut membantu meningkatkan geliat ekonomi masyarakat.
Enterpreneurship atau wirausaha adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan laba dari jasa atau produk yang dimiliki. Tak jarang wirausahawan menginginkan laba sebesar-besarnya tanpa peduli pada hal yang lain.
Keunikan Anjani ada pada pendekatan wirausaha yang dilakukan. Yaitu hanya mengambil 10% saja dari laba yang dihasilkan. Itupun digunakan untuk stok bahan baku pembuatan kain batik seperti kain polos, cat, malam, dan yang lain.
Banyak yang meragukan kiat Anjani ini, apa tidak rugi nanti?. Namun nyatanya usaha batik yang dijalankan Anjani justru makin berkembang. Bagi Anjani yang terpenting adalah motif Banteng Agung pada batik produknya terus lestari dan dikenal banyak orang.
Basic Anjani adalah seniman. Sebuah karya seni adalah segalanya. Pendekatan dengan mengambil laba 10% saja dilakukan untuk menambah kesejahteraan pada para pembatik yang bekerja dengannya. Selain itu juga sebagai dana kepedulian untuk membantu "menghidupi" para budayawan.
"Yang terpenting adalah memasyaratkan motif batik Banteng Agung, mempertahankan motif tersebut dan menguatkan motif sebagai motif batik khas Batu".--Anjani Sekar Arum--
Tantangan terbesar ada pada stigma masyarakat yang menyamakan motif Banteng Agung sebagai bagian dari politik. Jadi ada sedikit kendala dalam memasarkan motif batik tersebut pada masyarakat. Untungnya semakin cerdas masyarakat saat ini menjadikan stigma tersebut makin lama makin pudar. Dan motif batik Banteng Agung semakin bersinar.
Demi mengenalkan batik Banteng Agung ini Anjani memilih model promosi dengan ikut serta pada pameran-pameran kewirausahaan lokal maupun mancanegara. Sampai saat ini Banteng Agung sudah pernah dipamerkan di Ceko, Taiwan, Malaysia, Singapura, dan Australia. Terutama Anjani menjaring diaspora yang ada di luar negeri untuk ikut mengenalkan batik Banteng Agung.
Kinerja anak-anak pembatik cilik sangat bagus. Meski mereka hanya bisa membatik setelah pulang sekolah atau libur sekolah saja, tetapi kain batik yang dihasilkan cukup signifikan.
Biasanya Anjani akan langsung membagikan uang hasil penjualan batik pada anak-anak yang kain batiknya terjual. Ini juga semacam pemantik bagi kreativitas anak-anak. Bisa menghasilkan uang dari tangan sendiri di usia belia merupakan kebanggaan tersendiri.
Prosentase 10% dari laba yang diambil adalah untuk membeli peralatan untuk kebutuhan produksi batik selanjutnya. Anak-anak senang karena berhasil menghasilkan uang dari tangannya sendiri dan semakin kreatif menciptakan ragam motif batik Banteng Agung seiring perjalanan mereka membatik.
Pendekatan wirausaha unik yang diusung Anjani berhasil membawanya memenangkan SATU Indonesia Award kaegori wirausaha di tahun 2017. Dengan kemenangan tersebut Astra sebagai penyelenggara memberikan dana untuk membantu mengembangkan kegiatan penerima SATU Indonesia Award tersebut agar bisa terus berjalan dan berkembang.
SATU Indonesia Award adalah ajang untuk menjaring anak-anak muda yang memiliki kontribusi nyata mengembangkan wilayah di berbagai bidang yang dikuasai dari seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini berlangsung setiap tahun dan terus berlanjut hingga saat ini.
Sumber: kompas.com |
Tentu saja kegiatan ini sedikit banyak akan melecut semangat anak muda untuk ikut serta menggenjot perkembangan wilayah Indonesia dengan kontribusi positif di segala bidang kehidupan, mulai dari pendidikan hingga ekonomi.
Fokus utama Anjani ketika menciptakan batik Banteng Agung adalah sebagai wadah pengenalan dan pelestarian budaya. Keinginan untuk bisa menyamai keberhasilan ayahnya membawa Bantengan kemballi hidup mendorong Anjani untuk bisa menghadirkan Bantengan dalam wadah lain.
Memilih batik sebagai wadah memang tepat dilakukan, karena batik menghadirkan ke-khasan masing-masing daerah dalam guratannya. Waktu itu Batu belum memiliki motof khas yang bisa dijadikan identitas daerah.
Mengenalkan kesenian Bantengan berbentuk batik juga membawa Bantengan ke step selanjutnya. Batu akhirnya memiliki batik khas sebagai citra diri. Ini adalah salah satu hal yang bisa Anjani lakukan untuk kotanya, dan Indonesia, yaitu menambah kekayaan motif batik yang ada.
Ternyata dari batik Bantengan Anjani mampu membawa ke arah konsumtif, sebagai wirausahawan batik. Fokus utamanya bukan hanya keuntungan untuk pribadi tetapi ikut serta memberikan kesejahteraan dan kenyamanan pada para budayawan di sekitarnya. Tak jarang stereotip yang muncul adalah seniman kere.
Padahal karya para seniman memiliki nilai seni yang tinggi, tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit. Akhirnya seniman-seniman itu memilih untuk berkarir di bidang lain dan meninggalkan seni. Anjani tidak mau hal itu terjadi. Agar budayawan dan seniman terus berkarya dan ikut serta melestarikan budaya, Anjani tergerak untuk memberikan beberapa rupiah keuntungan batik Bantengan untuk membantu para budayawan tersebut sampai hari ini.
Selain dua hal di atas Anjani berhasil juga mengenalkan pendekatan wirausaha yang lain dari yang lain. Akhirnya banyak juga yag notice bahwa terkadang berwirausaha tetapi tidak fokus pada laba saja juga bisa berhasil. Keberkahan mungkin muncul dari niat Anjani untuk berpartisipasi memelihara budayawan, dan memberi lapangan kerja bagi warga sekitar.
Hanya dengan mengambil 10% laba saja dari hasil usaha, Anjani terbukti berhasil bertahan, bahkan mampu mengembangkan usahanya pada segmen-segmen lain.
Keberhasilan Anjani mendidik Alya menjadi perajin batik membuka jalan terbentuknya komunitas pembatik cilik di sanggar Andhaka miliknya. Banyak anak-anak yang akhirnya tertarik dan ikut belajar membatik karena melihat Alya yang sukses karena membatik.
Kegiatan ini selain bermanfaat dalam segi kreatifitas dan skill juga membantu anak-anak untuk mengurangi pemakaian gadget. Melihat mirisnya kondisi anak-anak yang banyak kecanduan gadget, kegiatan membatik ini sangat positif dilakukan.
Menariknya, nak-anak didik Anjani ini juga mampu menjadi duta pembatik untuk sekolah-sekolah di sekitar wilayah Batu. Jadi mereka menjadi tutor membatik yang dikirim Anjani untuk memberi edukasi cara membatik pada siswa-siswa sekolah.
Gencarnya pemberitaan tentang Anjani dan batik Banteng Agung menjadikan peluang baru pengembangan Banteng Agung, yakni didirikannya kampung wisata edukasi budaya. Dalam hal ini menyasar pada batik Banteng Agung, proses pembuatannya dan kesenian Bantengan itu sendiri.
Galeri dan sanggar seni Anjani kebanjiran order dari masyarakat, baik lokal Batu maupun dari luar daerah untuk ikut belajar membatik. Hal ini menciptakan peluang income dari tarif wisata dan pemenuhan kebutuhan wisatawan, baik dari segi konsumsi maupun oleh-oleh.
Selain di Batu, Anjani dipercaya untuk ikut serta membangun kampung wisata dan edukasi pembatik cilik di Yogyakarta. Meskipun harus bolak-balik Batu-Jogja, namun Anjani bahagia karena cita-citanya menciptakan komunitas pembatik di seluruh negeri mulai terlihat kemajuannya.
Selain membangun komunitas dan kampung wisata, Anjani membangun juga sanggar dan galeri batik di Yogyakarta. Jadi anak-anak maupun masyarakat yang ingin ikut andil bisa menyemarakkan galeri dan sanggar yang ada.
Anjani juga mulai merekrut desainer untuk membantu dalam produksi produk turunan batik Banteng Agung. Kalau penjualan kain batik lebih nyaman dilakukan secara offline maka untuk produk turunan bisa dilakukan secara online. Pelanggan bisa request mengenai produk yang diinginkan dan bahan baku yang dipakai. Atau langsung memilih produk dari media sosial seperti instagram dengan alamat @anjanibatikgaleri atau di facebook dan media lain.
Menurut Anjani produk turunan kain batik bisa mudah dikonsumsi oleh pelanggan karena sudah berupa barang siap pakai. Pelanggan tidak perlu pusing mencari penjahit dan sebagainya.
Sepatutnya kita perlu mengapresiasi usaha Anjani yang sudah dilakukan sampai sejauh ini. Bahwa apa yang dilakukan telah memberikan respon positif untuk perkembangan budaya sampai ekonomi.
Indonesia adalah negara yang kaya budaya. Batik sudah seperti identitas wilayah, hampir tiap daerah memiliki batik dengan motif khas daerah. Selain kain batik, juga ada kain-kain tradisional lain yang juga memperkaya khazanah budaya Indonesia.
Kenapa pembatik cilik? karena Anjani tidak mau kebudayaan Indonesia yang kaya ini akhirnya hilang tergerus zaman karena tidak ada generasi muda yang meneruskan. Jadi pengkaderan dilakukan oleh Anjani dari bawah agar anak-anak generasi muda Indonesia dari seluruh wilayah nantinya masih bisa mempertahankan kebudayaan yang ada saat ini.
Di sebagian besar daerah, misalnya motif kain songket hanya diturunkan dari satu keluarga saja, keluarga yang lain memiliki motof lain yang berbeda. Jika motif ini tidak diteruskan otomatis keragaman motif songket juga berkurang. Ini jelas kerugian besar bagi Indonesia dan Anjani tidak mau itu terjadi.
Anak-anak yang mengerti kebudayaan, memahami cara pembuatan dan proses di dalamnya akan mampu dengan baik untuk tetap mempertahankan identitas Indonesia di kancah dunia. Entah dengan masivnya perkembangan teknologi saat ini atau dengan isu-isu terkait yang berkembang.
Selain membangun komunitas pembatik cilik, Anjani juga berencana untuk membuat kampung wisata budaya di seluruh Indonesia. Ini juga satu langkah penting yang nantinya akan berkembang lebih jauh dan berkontribusi untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat.
Terbukti banyak kampung-kampung wisata yang ekonominya ikut bergeliat seiring banyaknya wisatawan yang berkunjung.
Ketika nanti pembentukan kampung wisata budaya bisa berjalan maka akan diikuti dengan pengembangan usaha di sektor-sektor lain. Jika saat ini Anjani sudah berproses dari hanya produksi kain batik bertambah masuk ke lini busana dan asesoris. Lalu ada wisata edukasi budaya dan komunitas pembatik cilik. Dari sana saja memantik peluang bagi warga sekitar untuk meningkatkan ekonomi domestik dengan cara misalnya berjualan makanan, oleh-oleh, transportasi dan jasa-jasa lain.
Tidak menutup kemungkinan nantinya Anjani akan mampu memprakarsai festival budaya tahunan seperti festival Bantengan dalam wajah lain yang lebih menarik dan dalam skala yang lebih besar.
Semangat Anjani untuk mempertahankan, dan melestarikan budaya Indonesia saat ini memang besar sekali. Semangat itu dikukuhkan dengan berbagai usaha yang ternyata cukup signifikan memberi sentilan pada masyarakat agar lebih mencintai budaya Indonesia yang ada.
Semangat itu akan terus Anjani jaga demi cita-cita mengembangkan budaya Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Indonesia akan bersinar dengan ragam budaya yang terjaga.
"Masih tersedia ruang bagi siapa saja untuk menggali dan memaknai keberadaan warisan budaya seni kriya dwi matra dalam hal ini aneka kain milik Indonesia".
Semangat Anjani menjadikan anak-anak mencintai warisan budaya, baik lokal maupun nasional mampu secara tidak langsung menular di sekolah tempat saya bekerja. Di sekolah vokasi ada kurikulum terkait pemahaman dan praktek menjadi enterpreneur untuk siswa. Dalam kurikulum tersebut siswa dibekali pengetahuan mengenai enterpreneurship dan juga technopreneurship. Siswa diharapkan mampu menjadi wirausahawan muda yang ikut menggeliatkan perekonomian nasional dengan produk yang dihasilkan.
Salah satu penerapan kurikulum tersebut adalah pembelajaran membatik di kelas tata busana. Siswa dibekali ketrampilan membuat kain batik khas Lamongan mulai dari proses awal sampai akhir. Bahkan dari kain batik yang dibuat dijadikan menjadi produk turunan seperti masker, baju, tas, dan yang lain. Karena siswa juga memiliki skill menjahit dan memproduksi busana, jadi sangat relevan sekali pemberian skill membatik tersebut.
Selain batik khas Lamongan anak-anak juga diberi ketrampilan membuat batik Shibori. Pembuatan batik ini nyatanya begitu antusias dan semangat. Hasil kain batik yang mereka proses juga memiliki kualitas yang signifikan.
Bahkan karena program sekolah CEO (Center Of Excellent) beberapa kali juga sekolah menerima pesanan batik, baik itu untuk produk masker, baju, taplak meja, dan yang lain dari luar.
Batik khas SMKN 1 Kalitengah dan pesanan batik dari luar sekolah Sumber: Dokumentasi pribadi |
Selain memupuk kecintaan pada Indonesia dari mengenal dan ikut melestarikan warisan budaya, juga sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan pada anak-anak. Hasil kain akan dijual atau dijadikan produk turunan. Di sini siswa juga diberi pembekalan bagaimana menentukan nilai jual. Keberhasilan siswa-siswa ini berwirausaha merupakan bekal penting bagi masa depan mereka nanti, karena kelak merekalah yang menjadi tolak ukur kemajuan ekonomi bangsa.
Pembuatan batik Shibori di SMKN 1 Kalitengah Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Berkaca dari kondisi saat pandemi dan krisis moneter dunia dimana perekonomian Indonesia sangat tertolong oleh geliat UMKM dan tidak terimbas cukup parah. Maka nantinya wirausahawan-wirausahawan muda inilah yang akan ikut serta menjaga ekonomi Indonesia untuk tetap bertahan, bahkan mengalami kemajuan yang signifikan. Selain itu generasi muda yang aware dan mengerti budaya Indonesia akan mampu menjaga identitas Indonesia dimanapun mereka berada. Nantinya generasi muda yang kompeten berwirausaha dan mengerti dan mencintai budaya Indonesia akan mampu menjadikan Indonesia negara besar yang kaya akan budaya. Semoga
"Mencintai Indonesia tidak harus lewat jargon-jargon, tapi bisa dengan mengapresiasi hal-hal kecil yang merupakan karya bangsa sendiri, termasuk memakai batik dan kain tradisional lainnya". Dian Sastrowardoyo.
0 comments