Beberapa minggu ke belakang, mungkin sejak Ramadhan saya jadi suka sekali nonton podcast. Jam kerja pas Ramadhan juga mendukung sekali. Apalagi koneksi internet IndiHome sebagai internet provider dari Telkom Indonesia di rumah lancar jaya, jadi enak banget nontonnya.
Podcast yang saya tonton mungkin agak berat, awalnya saya penasaran dengan tren Brain Drain yang banyak dibicarakan lalu ketemu dengan podcast-nya pak Gita Wirjawan yang isinya daging semua. Meski berat saya jadi ketagihan dan dapat banyak banget ilmu yang bisa dijadikan pegangan buat hidup di masa depan.
Salah satu podcast yang paling mengena di saya, waktu pak Gita menghadirkan narasumber Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem, Habib Ja'far dan seorang profesor bernama Gi Wook Sin dari Stanford University yang mengupas tentang bagaimana resep Korea mengekspor budaya dan talenta dan menjadikannya mendunia.
Saat ini Korea Selatan mendunia. Siapa yang tidak kenal dengan BTS, Blackpink dan artis-artis Korea lainnya. Lalu Samsung yang menggeser dominasi Nokia dan Iphone. Bagaimana bisa demikian?
Profesor Gi Wook Sin mengatakan karena Korea Selatan berhasil melakukan pengembangan pada human capitalnya. Dan adanya ancaman dari negara tetangga menjadikan penduduk Korea Selatan memiliki karakter bersaing yang sangat ekstrim.
Melihat keberhasilan Korea Selatan menjadi kiblat baru dunia, Indonesia saya yakin juga mampu menjadi negara berikutnya. Secara resource Indonesia memiliki semua yang dibutuhkan.
Kekayaan alam Indonesia melimpah dan beragam. Bahkan di bidang energi terbarukan Indonesia memiliki cadangan geothermal terbesar sedunia. Belum lagi energi-energi lainnya.
Lepas dari itu demografi Indonesia juga seimbang. Jumlah generasi muda Indonesia masih terbilang lebih dari cukup. Melihat beberapa negara maju yang sudah mengalami krisis demografi akibat trend childfree. Bukankah nanti para generasi muda tersebut yang akan meneruskan perjuangan generasi sebelumnya?
Nah dari keasyikan saya nonton podcast-podcast itu sedikit bisa saya ambil poin penting bagaimana Indonesia bisa lepas dari julukan negara berkembang menjadi negara maju.
Pertama, perbaiki kualitas human capital Indonesia
Saya yakin sekali sebenarnya SDM Indonesia itu bagus-bagus. Tapi entah kenapa yang viral malah justru jelek-jeleknya. Yang dibilang malas lah, suka bikin ulah, bodoh, dan lainnya.
Padahal banyak SDM kita yang ahli di bidangnya masing-masing. Cuma kita saja yang suka nyinyirin teman sendiri.
Pemerintah juga sebenarnya sudah memberikan langkah untuk mengupgrade SDM muda kita untuk merasakan study abroad. Sayangnya banyak dari awardee itu yang tidak kembali ke Indonesia untuk menerapkan ilmunya membangun bangsa.
Tahu istilah brain drain kan ya? Nah itu yang sedang banyak terjadi di Indonesia sekarang. Memang tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada awardee karena pemerintah dan masyarakat juga masih belum bisa mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan awardee saat kembali ke Indonesia.
Tak jarang masyarakat mengaitkan fenomena ini dengan ketidakcintaan awardee pada Indonesia dan buruknya karakter mereka. Padahal tidak selalu demikian.
Untungnya pak Nadiem concern pada masalah ini sehingga berjuang memperbaiki kualitas karakter anak bangsa dengan menerapkan materi P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) pada kurikulum merdeka.
P5 diharapkan mampu memperbaiki kaakter manusia Indonesia sesuai dengan nilai Pancasila. SDM unggul dimulai dari generasi bangsa yang berkarakter mulia.
Kedua, relatable policy
Kebijakan pemerintah haruslah relatable dengan situasi masa kini. Karena zaman sudah digital semua, jadi sebisa mungkin kebijakan yang diberikan juga tidak justru membuat digitalisasi terkungkung dan tidak dapat berkembang. Pro terhadap kebutuhan rakyat dan mampu meminimalkan terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan baik oleh rakyat maupun pejabat terkait.
Misalnya saja kebijakan untuk pendidikan dalam kampus merdeka, saya merasa gebrakan yang dilakukan Nadiem Makarim begitu dahsyat. Dan saya yakin sekali tekanan dari banyak pihak pasti beliau rasakan.
Salah satu program yang saya rasa bagus sekali ada pada IISMA (Indonesian International Student Mobility Award) yaitu semacam program pengiriman mahasiswa universitas di Indonesia yang masih aktif untuk bisa merasakan atmosfer kuliah di kampus luar negeri selama satu semester.
Program ini sangat cocok untuk meningkatkan kesadaran generasi muda dan skill mereka untuk bisa bergabung dalam kancah internasional. Mengenal dunia di luar dunia mereka dan menjadikannya semacam kesempatan untuh bertumbuh dan berkembang dengan baik.
Dengan belajar di luar sedikit banyak akan dapat merubah mindset dan sudut pandang dari anak-anak muda ini serta membuka wawasan untuk dapat lebih mencintai Indonesia dengan tindakan yang masif namun terstruktur.
Untuk menjadi global tidak hanya dibutuhkan skill bahasa asing tetapi lebih dari itu. Generasi muda harus punya cross cultural skill agar mereka mampu bertahan bahkan bersaing dengan masyarakat dunia.
Ketiga, manajemen sumberdaya alam yang berpusat pada kepentingan rakyat
Aduh ya, saya melihatnya saja sudah sakit hati. Bagaimana Freeport tambang emas terbesar di dunia justru dikuasai asing dan tidak mampu memakmurkan rakyat Indonesia khususnya Papua. Bagaimana di lingkungan sekitar saya saat ini banyak pabrik-pabrik didirikan, tahu nggak siapa pemiliknya? orang asing juga.
Saya menyayangkan bagaimana manajemen SDA yang dilakukan pemerintah justru tidak pro rakyat. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sudah ditaklikkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengelolaan SDA harus dikembalikan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jika ini dilakukan, hutang Indonesia yang wow itu pun juga saya yakin akan bisa selesai dengan mudah.
Problem besarnya adalah rasa cinta masyarakat pada Indonesia masih sangat kurang. Lalu bagaimana cara agar kecintaan Indonesia bisa tumbuh subur dalam hati generasi muda bangsa saat ini?
Akar peradaban ada pada budaya. Sebagai negara maritim yang terdiri dari banyak pulau tentu saja Indonesia juga dianugerahi dengan kekayaan budaya yang begitu besar. Dari Sabang sampai Merauke begitu kemilau berhias ragam budaya.
Bagaimana kita mencintai sesuatu? pertama ya harus kenal dulu. Kalau ingin generasi muda mencintai Indonesia, buat dulu agar mereka kenal dengan budaya Indonesia. Banyak cara yang bisa dilakukan, apalagi di jaman serba digital saat ini. Mulai dari cara manual sampai digital bisa dilakukan.
Di desa saya kebetulan untuk pengenalan budaya sudah dilakukan dengan sangat baik. Mengingat di desa ada grup kesenian reog yang biasa latihan dan tampil. Anggotanya juga diambil dari warga desa, mulai anak-anak sampai dewasa.
Di hari Minggu kemarin bahkan ada peragaan ragam budaya. Ada dua grup reog asli desa, dua grup drumb band, satu grup jaran jenggo, satu grup gong atau tayub dan satu grup orkes.
Wah kok banyak gitu? pasti kalian bertanya-tanya. Tapi memang di desa saya masih sering ada tampilan kesenian, bahkan beberapa waktu lalu sempat ada pagelaran wayang lengkap. Yang mendatangkan bukan pihak desa tapi individu.
Saya tentu saja cukup terhibur, karena memang sedikit banyak menyukai kesenian semacam itu.
Dengan menampilkan pagelaran kesenian dan budaya di desa, warga baik dari desa atau luar desa, tua muda dengan otomatis akan mengenal budaya yang disajikan. Meski masih kecil dan tidak beragam tetapi pasti membekas di hati.
Anak-anak desa juga giat sekali ikut latihan sesuai dengan posisi yang diinginkan. Jadi sedikit banyak mereka juga tidak hanya mengenal tetapi sampai bisa melakukan atraksi terkait budaya tersebut. Ini selangkah menuju timbulnya cinta Indonesia pada diri mereka.
Nah sebelum beranjak lebih jauh, baiknya kenalan dulu ya dengan beberapa kesenian yang ditampilkan saat pagelaran budaya kemarin.
Pertama, Jaran Jenggo
Jaran jenggo adalah kesenian yang melibatkan kuda dalam atraksinya. Biasanya digelar untuk penyambutan tamu saat ada anak laki-laki yang akan di khitan.
Kuda yang diikutkan atraksi diberi kostum zirah khas Jawa dan ditunggangi naga. Naga dalam hal ini biasanya adalah anak-laki-laki yang akan di khitan. Kuda beserta penunggang berjalan di depan, sementara di belakangnya terdiri dari laki-laki dewasa yang memakai kostum seperti pemain reog dan membawa payung besar. Ada juga yang membawa hiasan berbentuk seperti kembang api yang berisi uang.
Nanti hiasan ini akan diperebutkan oleh warga saat atraksi digelar, biasanya di depan kantor desa atau rumah yang punya hajat.
Di belakangnya lagi ada iring-iringan pemusik yang sepanjang arak-arakan akan memainkan rebana dan alat musik tambahan lain.
Entah terpengaruh magis atau bagaimana, tetapi kuda yang ikut arak-arakan ini bertingkah tidak seperti kuda biasa. Jalannya seperti menganggung-angguk anggun dan jalannya gemulai.
Nah kalau di desa saya arak-arakan jaran jenggo ini wajib memutari telaga desa yang ada di samping kantor desa sebanyak tiga kali sebelum menuju kerabat yang punya hajat untuk "menyembah".
Kuda akan diarak mendatangi sanak saudara, yang sudah bersiap duduk di depan rumah masing-masing untuk "menyembah". Menyembah di sini kuda tersebut menundukkan tubuh di depan tuan rumah yang dituju seperti menyembah raja. Sementara tunggangan (anak yang akan di khitan turun dari kuda dan ikut duduk di samping tuan rumah).
Kebetulan waktu itu entah kenapa saat berjalan tiba-tiba kuda ngamuk nggak karuan. Semua orang bingung. Padahal sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Ternyata kuda mengamuk karena si pemilik hajat belum melayat ke rumah tetangga yang meninggal beberapa saat sebelum jaran jenggo diarak.
Kalau tidak salah istilahnya Sandung Watan. Si pemilik hajat harus menghormati dulu karena ada orang yang meninggal dengan memberi sembako sebelum hajatan diteruskan.
Yang membuat anak-anak senang ya ketika berebut uang dari hiasan yang dipegang orang-orang dewasa yang berjalan di belakang kuda tadi. Seru sekali melihat mereka dengan antusias memperebutkan uang tadi.
Kedua, Reog
Saya sudah pernah menuliskan kesenian ini di tulisan saya sebelumnya. Reog memang asli dari Ponorogo, tetapi di desa saya kesenian ini termasuk sukses bertahan di tengah gempuran modernitas. Dari tahun 70-an sampai sekarang masih digelar. natusias warga juga masih begitu besar.
Nah memang desa saya itu termasuk pelosok tetapi digitalisasi masih bisa dinikmati. Koneksi internet lancar dan mudah didapatkan karena ada internet provider IndiHome dari Telkom Indonesia yang sudah terpasang di sini.
Secara tidak langsung koneksi internet dan dunia digital telah membantu banyak dalam perkembangan kesenian reog di desa kami agar bisa dikenal di luar sana.
Media sosial grup selalu update kegiatan terbaru dan mudah diakses oleh siapapun, jadi tak jarang ada permintaan reog digelar di luar desa, bahkan luar daerah.
Saya terkhusus sangat menyukai atraksi yang dilakukan raja kelana saat reog di-gembyang. Ah iya sampai lupa, reog memiliki anggota dengan beberapa posisi yang memang dibutuhkan untuk pagelaran.
Ada dadak merak, bujang ganong, warok, jathilan, raja kelana, dan pemain gamelan. Pemain dadak merak biasanya laki-laki dewasa yang kuat menahan beban sekitar 50 kg dari topeng dadak merak menggunakan giginya. Selain kuat menahan beban tersebut juga harus bisa beratraksi menampilkan gerakan-gerakan ekstrem yang sulit dinalar menggunakan topeng tersebut.
Bujang ganong adalah tokoh lincah yang bergerak kesana kemari. Dimainkan oleh anak-anak laki-laki yang memakai topeng bujang ganong dan kostum khusus. Atraksinya macam-macam mulai dari menari sesuai gendingan gamelan sampai melakukan atraksi ekstrem seperti menyemburkan api.
Ada juga warok yang dimainkan laki-laki dewasa berkostu htam-hitam. Warok sejatinya adalah kesatria pembela rakyat jelata.
Atraksi yang dilakukan biasanya menari menggunakan properti cambuk dengan gaya yang lebih kalem. Kadang juga menampilkan atraksi ekstrem jika diperlukan.
Jathilan atau penari kuda lumping terdiri dari anak sampai remaja putri yang menarikan tarian kuda lumping. Tak jarang mereka beratraksi seolah menggoda dadak merak atau warok dengan centil.
Raja kelana adalah laki-laki dewasa yang memerankan tokoh seperti raja. Tariannya rancak gemulai dan menurut saya begitu memukau. Saya lebih fokus saat melihat raja kelana daripada dadak merak :)
Sedangkan pusat dari reog ada pada penari dadak merak yang melakukan tarian barong dwngan menahan berat topeng yang begitu besar.
Saat ini posisi penari reog sudah memiliki anggota yang banyak. Dadak merak juga ada lebih dari 1 sehingga bisa bergantian.
Yang membuat bangga, karena dukungan akses internet IndiHome saat ini grup reog di desa saya bertambah. Kalau dulu cuma satu sekarang ada 2 grup reog dengan nama Reog Pendul Jaya dan reog Singo Yudho Budoyo.
Kenapa dua, karena promosi lewat media sosial ternyata sangat signifikan. Banyaknya permintaaan pagelaran yang masuk membuat satu grup reog saja kewalahan memenuhi.
Selain itu banyaknya generasi muda desa yang tertarik ikut bergabung dalam grup kesenian reog ini juga berpengaruh besar. Jika hanya 1 grup akan sangat kurang dan menjadikan bakat-bakat anggote kurang tereksplor.
Ketiga, gong atau tayub
Tak jarang banyak masyarakat yang menafsirkan Tayub atau pagelaran gong sebagai kesenian yang erotis. Bahkan sering di beberapa wilayah melarang pagelaran kesenian tersebut.
Tayub merupakan seni tari yang diiringi gending gamelan. Dalam pagelarannya terdiri dari penabuh gamelan, penari dan waranggana. Kemarin saat ada tayub digelar di desa kebetulan penari remo yang membuka pagelaran sekaligus adalah waranggananya. Dulu waranggana biasanya dipilih dari orang yang berbeda dan duduk di dekat penabuh gamelan.
Pagelaran tayub dimulai dengan tarian pembuka, kemarin tarian yang dipilih adalah tari Remo khas Jawa Timur. Lalu wanawicara menyampaikan beberapa pesan dan pemilih hajat memberi sepatah dua patah kata. Penari tayub masuk ke arena dan mulai menari.
Saya suka sekali dengan gending gamelan, jadi ikut mendengarkan gending dari jauh. Saya tidak berani mendekat karena di sana banyak sekali warga laki-laki yang antusias ingin menari dengan penari tayub.
Dalam dunia yang serba digital saat ini, koneksi internet menjadi salah satu kebutuhan masyarakat. Ibaratnya mending nggak makan daripada nggak punya kuota.
Semua lini kehidupan sudah terupgrade dan terkoneksi digital. Aktivitas tanpa batas, seperti yang tersirat memang benar tanpa batas. Kita bisa melakukan apa saja cukup menggunakan satu perangkat dalam genggaman dengan koneksi internet.
IndiHome sebagai provider internet dari Telkom Indonesia merupakan penyedia koneksi internet utama di Indonesia. Jangkauan serat fiber milik IndiHome membentang sejauh 166,344 km dari pusat kota ke desa-desa terpencil. Kalau dihitung bisa setara 4 kali keliling bumi. dan menjangkau hingga pulau-pulau terluar di Indonesia.
Sampai saat ini sebagai penyedia internet utama, IndiHome masih terus berbenah. Layanan yang diberikan juga lebih beragam. IndiHome menyediakan layanan triple play (internet, Usee TV, telepon rumah), dual play (internet dan telepon rumah), serta saat ini juga bisa memilih yang single play atau paket internet saja.
Selain paket utama, IndiHome saat ini dilengkapi dengan banyak Add-On yang bisa dipilih pelanggan untuk memudahkan kehidupan. Mulai dari IndiHome TV, akses Netflix, ikonser, edukids, dan masih banyak lagi. Pelanggan IndiHome dimanjakan dengan banyaknya fitur yang sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu ada yang paling disukai, khususnya untuk ibu-ibu kayak saya. Apalagi kalau bukan tukar poin, jadi poin yang didapat oleh pelanggan bisa ditukar ke merchant-merchant yang bekerja sama dengan IndiHome. Lumayan kan....
Dengan kemudahan akses internet tersebut, meski desa saya termasuk terpencil dan jauh dari mana-mana tapi masih bisa berkembang dan tahu informasi terkini. Dan IndiHome juga memberi peran besar dalam membantu proses mencintai Indonesia dengan langkah awal mengenal budaya Indonesia.
Pertama, edukasi budaya
Dulu untuk tahu bagaimana kabar saudara yang jauh sulit sekali ya, sekarang mau dimanapun, terpisah sejauh apapun mudah saja berhubungan secara digital. Sama dengan peran IndiHome sebagai sarana edukasi budaya pada generasi muda.
Eh bukan hanya generasi muda juga, saya pun masih harus banyak belajar tentang budaya Indonesia. Kalau saya sih lebih suka browsing untuk riset materi sebelum menulis. Karena saya termasuk penggemar menulis genre historical fiction. Jadi harus banyak baca literatur tentang sejarah dan budaya, khususnya budaya Indonesia.
Dari proses itu saya banyak menghasilkan karya baik cerpen, puisi, maupun artikel yang beberapa bahkan diapresiasi menjadi pemenang dalam ajang lomba.
Pada lini pengenalan budaya tersebut, warga, baik anggota maupun bukan dari grup reog sama-sama belajar tentang ragam tarian di Indonesia. Bukan hanya tarian Jawa Timur tetapi sampai lintas pulau.
Dari tayangan youtube, reels, tiktok, bahkan sampai melihat podcast-podcast yang berseliweran di internet mereka belajar bagaimana menarikan tarian untuk pagelaran reog dengan baik. Selain itu mempelajari kesenian tari dari daerah lain juga sering dilakukan untuk memperkaya wawasan.
Tak jarang mereka melakukan improvisasi sana-sini agar lebih keren dan beragam. Apalagi anak-anak yang main bujang ganong itu lucu-lucu, gerakan yang mereka lakukan saat perform sendirian kadang aneh sekali, memadukan tarian modern dan tradisional.
Nah yang unik, pemain gamelan kami itu tidak punya tutor khusus untuk mengajari mereka main gamelan. Jadi terpaksa belajar otodidak dengan melihat tutorial memainkan gamelan lewat tayangan youtube. Ya...untungnya koneksi internet lancar berkat IndiHome jadi mudah belajarnya.
Selain itu mereka juga belajar notasi khusus gamelan agar nantinya bisa mengaransemen musiknya sendiri. Tahu kan kalau gending gamelan untuk peragaan reog itu unik.
Menurut saya memang koneksi internet adalah salah satu poin penting untuk pengenalan atau edukasi budaya di desa saya. Hal yang paling dekat dengan anak muda ya dunia digital. Karena itu mereka lebih suka eksplor segala sesuatu lewat dunia maya tersebut.
Harus banyak-banyak terima kasih nih ke IndiHome dan Telkom Indonesia sudah bisa menyediakan layanan internet bebas gangguan. Apalagi di aplikasi myIndiHome ada juga minipack yang relate dengan edukasi budaya ini, namanya Indi Jowo. Minipack ini bisa digunakan pelanggan unuk belajar kesenian tradisional Jawa. Langganannya juga mumer banget, cuma Rp. 5000 per bulan.
Kedua, pagelaran budaya digital
Anggota grup kesenian reog di desa saya sebenarnya tidak semua tinggal di dalam desa. Banyak dari mereka yang tinggal di luar kota karena pekerjaan atau sekolah. Jadi tidak jarang ketika ada undangan tampil dimana gitu mereka latihanya via online.
Streamingan gitu lah ya, jadi masing-masing anggota seperti melakukan siaran langsung latihan dari tempat tinggal mereka. Meski hanya bisa menyaksikan lewat hp bukan layar lebar tapi itu membantu sekali dalam persiapan tampil.
Ketika latihan bersama via online begini kualitas koneksi internet tentu harus prima, kalau tidak videonya kepotong atau terjeda-jeda dan bikin nggak seru. Nah untungnya kualitas jaringan dari IndiHome nggak main-main. Jadi acara seperti ini berjalan lancar, seringnya sampai berjam-jam sampai semua anggota puas dengan performa masing-masing.
Ini masih di tingkat lokal ya, tetapi nanti tidak menutup kemungkinan bisa juga dilakukan pagelaran budaya digital lintas daerah. Pakai layar besar yang bisa disaksikan oleh banyak orang. Wah saya nggak sabar bisa sampai seperti itu. Pasti seru banget.
Btw di desa saya itu memang sering ada pagelaran budaya. Kalau dibiang masyarakatnya masih kolot nggak papa juga. Menurut saya mereka memang suka dengan kesenian daerah jadi sering menggelar pagelaran seni. Justru bagus sekali kan, kita jadi tahu budaya sendiri.
Coba deh nanti saya dan pemuda desa coba senggol pemerintah desa biar bisa kasih pagelaran yang bombastis ke warga dengan menampilkan budaya lintas daerah, bahkan lintas pulau lalu menyaksikannya bersama di lapangan desa. Pas malam tahun baru atau malam kemerdekaan. Reognya kita saksikan live, lalu kesenian lain lewat layar besar pasti keren dan out of the box banget.
Biarkan anak-anak muda yang melek gadget itu yang mengurus teknisnya, dan pegiat seni yang melakukan pertunjukan. Lalu warga menyaksikan bersama. Nah itu nanti bisa jadi semacam brand baru untuk desa dan bisa dilaksanakan annually atau tiap tahun. Asyik yaa..
Masalah koneksi serahkan saja ke IndiHome, dijamin oke lah.
Ketiga, kreativitas tak terbatas
Konten-konten tentang budaya sudah banyak menjamur di dunia maya. Bahkan anak-anak anggota reog di desa juga aktif sekali membuat konten, baik melalui platform youtube, tiktok, reels, maupun yang lain. Kegiatan latihan dan pagelaran yang mereka lakoni diupload secara rutin.
Portofolio ini setidaknya juga akan berpengaruh pada generasi muda yag notabene dekat sekali dengan media sosial. Pengenalan tentang budaya Indonesia bisa berjalan secara otomatis saat mereka melihat tayangan konten.
Begitupun anggota grup kesenian yang memang sering melihat konten-konten pertunjukan grup reog lain, atau grup tari lain yang perform. Secara tidak langsung menimbulkan impact ke kreativitas yang semakin tak terbatas.
Mereka mudah sekali memasukkan unsur-unsur gerakan dari tarian lain ke dalam koreografi reog mereka. Kalau dibilang akulturasi budaya skala minor bisa juga ya.
Apalagi untuk pemain gamelan, kreasi gending yang dibawakan juga menjadi tidak monoton karena sudah berani mencoba memainkan gending lain mencontoh gending gamelan yang dimainkan oleh grup reog yang mereka tonton, bahkan juga tak jarang memasukkan instrumen musik modern seperti gitar sebagai pelengkap gending.
Kalau saya melihat memang tayangan-tayangan konten digital membantu signifikan dalam kreativitas dan kepercayaan diri pemain reog ini.
Ketika sudah muncul rasa mencintai Indonesia sebagai negara, maka secara tidak langsung akan berpengaruh pada pola pikir yang berubah, dari self oriented ke nation oriented.
Tidak lagi menempatkan kepuasan diri sendiri di atas segalanya. Namun mendahulukan kepentingan nasional. Dengan begitu nantinya langkah-langkah strategis akan muncul dari pemikiran anak-anak muda ini untuk mengembangkan Indonesia lebih baik lagi.
Misalnya saja dengan merubah policy yang berlaku saat ini. Dalam hal kepemilikan usaha misalnya, warga asing seharusnya tidak diberi ijin untuk memiliki tanah di Indonesia, tetapi hanya hak guna saja.
Atau kebijakan terkait pertambangan dan konsumsi SDA Indonesia oleh pihak asing, bisa diperbaharui. Lalu perlahan mencari celah dan solusi untuk melunasi hutang luar negeri dan mencoba bangkit untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Saya pun bermimpi kelak Indonesia akan menjadi sebesar masa lalu dan menjadi rujukan masyarakat dunia.
Sekarang ini zamannya anak muda yang go to the flow, karena mereka yang paling menguasai teknologi. Penggunaan hard power untuk mencapai sesuatu sudah tidak relatable dengan kondisi zaman.
Main gasak tidak mempan lagi, saatnya memakai persuasi sebagai langkah mencapai tujuan. Aliasnya soft powerlah yang diperlukan untuk bisa maju.
Generasi muda bisa sekaligus memperkuat identitas Indonesia di mata dunia dari berbagai aspek. Bisa lewat bidang politik, ekonomi, olahraga, sains, dan yang lain. Penggunaan media sosial dan media terkait bisa digunakan dengan leluasa dan lebih berpengaruh daripada menggunakan cara-cara lama.
Bisa dengan menciptakan konten-konten berkualitas mengenai Indonesia. Ragamnya juga diupgrade secara signifikan. Nanti sedikit banyak pengguna internet di seluruh dunia akan tahu dan mengenal Indonesia.
Tidak hanya itu, misalnya saja apa yang sudah dicapai oleh Gita Karang dan Zayyan yang mampu masuk menembus ketatnya persaingan menjadi idol di Korsel. Nah peran mereka cukup signifikan untuk mengenalkan Indonesia di mata dunia.
Tau tim-tim atlet Indonesia yang sedang berjuang dalam SEA Games. Kemenangan mereka sekaligus mendongkrak citra Indonesia di mata dunia. Banyak cara sebenarnya, semoga bisa dibidik dengan baik nantinya oleh generasi muda kita.
Saya itu punya mimpi Indonesia akan jaya seperti Nusantara di jaman Majapahit dulu. Dimana armada lautnya merupakan armada terkuat dan terbaik di dunia. Ekonomi juga baik, masyarakatnya terjamin. Saya ingin melihat dengan mata kepala sendiri Indonesia yang mampu mencukupi kebutuhan masyarakatnya, yang bebas hutang, yang mandiri, yang berdikari.
Memang sebelumnya harus memperbaiki dulu ecomic capital sebelum mulai promosi cultural capital. Tetapi mungkin akan terlalu lama. Di jaman serba tak terbatas saat ini mungkin promosi kebudayaan bisa dilakukan sambil jalan.
Saya suka sekali dengan grup band Weird Genius yang lagu Lathi miliknya viral di medsos. Nah ini salah satu gebrakan yang cerdas sekali. Memasukkan unsur kebudayaan Indonesia pada konten yang bisa diterima banyak pihak. Selain unik juga lebih menarik perhatian penonton warga asing.
Era digital memang zamannya konten. Semua-muanya masuk ke dunia digital. Dari anak-anak sampai dewasa sudah familiar dengan gadget dan konten-konten di dalamnya.
Saya termasuk salah satu yang suka membuat konten digital, tetapi bukan berupa video, hanya tulisan saja.
Saya karena suka dengan sejarah dan budaya seringnya juga bikin konten yang nggak jauh-jauh dari subyek itu. Tulisan-tulisan saya meski berupa fiksi tapi memasukkan unsur budaya atau kearifan lokal Indonesia di dalamnya.
Misalnya di cerpen Sang Penari yang alhamdulillah memenangkan salah satu kompetisi menulis cerpen yang diadakan oleh Indie literary Club, saya masukkan budaya tari Lengger dan sejarah kelam seniman Indonesia di masa PKI dulu.
Atau di cerpen yang terbit di Solopos Nawang Lintang, saya masukkan unsur budaya tari Bedhaya Ketawang yang sakral di dalamnya dengan dibumbui sedikit konflik. Dan masih banyak lagi yang lain.
Untuk konten lain seperti blog, youtube, reels saya belum terlalu menguasai jadi jarang sekali membuat konten di sana. Masih prefer berburu di konten untuk media.
IndiHome yang jadi provider internet utama di Indonesia bisa jadi salah satu komponen penting dalam cita-cita menjadikan Indonesia go internasional.
Anak-anak muda Indonesia yang kreatif bisa menyajikan karya-karyanya melalui medsos atau platform terkait yang bisa dinikmati oleh banyak orang dan tidak terbatasi oleh batas-batas negara.
Karena internet menghubungkan dunia semudah membalikkan telapak tangan. Konektivitas lancar dari IndiHome menjamin karya-karya konten anak-anak bangsa ini bisa dinikmati dan mendapat apresiasi.
Lihat saja youtuber Alip ba ta yang kondang dengan skill membetot gitarnya. Atau podcast endgame milik pak Gita Wirjawan yang banyak memberikan materi bagus terkait Indonesia. dan masih banyak lainnya.
Dengan konten-konten berkualitas tersebut, misi mengenalkan Indonesia di mata dunia akan menjadi lebih mudah.
Ekspor kebudayaan seperti yang dilakukan oleh Korsel bisa ditiru. Mereka sukses besar mengenalkan Kpop dan Drakor yang menjadi penyumbang devisa negara.
Apalagi Indonesia punya SDA yang lebih besar dari Korsel. Ada banyak hal yang bisa dieksplor untuk memajukan Indonesia. PR besar untuk kita semua.
Penulis-penulis yang berburu tayang media itu punya prinsip "tulis, kirim, lupakan". Saking sulitnya menembus media. Kadang naskah setahun yang lalu baru bisa tayang, atau gagal sama sekali.
Jadi seringnya saya tidak punya harapan muluk-muluk tulisan saya bisa dicetak di media dan dibaca banyak orang. Meski saat tulisan saya lolos kurasi dan bisa terpampang di media itu bahagianya luar biasa. Rasanya seperti susahnya naik gunung lalu sampai di puncak dan menyaksikan lautan awan dan pemandangan dari atas sana. Seperti itulah kira-kira.
Namun saat ini berkat adanya internet orang bisa dengan mudah mengupload apa saja di dunia maya dan dilihat oleh banyak orang. Sebegitu berkuasanya internet saat ini.
Saya pakai IndiHome sejak pandemi karena kebutuhan kuota gila-gilaan saat itu. Kalau mengandalkan kuota internet dari pulsa sepertinya akan jebol dompet. Pakai IndiHome ini cukup hemat menurut saya karena bisa dipakai serumah. Koneksinya juga lancar tanpa gangguan.
Adik suka bikin konten untuk youtube, reels, dan tik toknya dengan niche gamer dan esport. Adik satunya lagi sering seminar online dan kerja remot dari rumah sementara kantornya di Kupang. Suami pakai koneksi internet untuk cek kedatangan kapal lewat aplikasi khusus tempat kerjanya.
Karena saya juga harus mengajar online jadi sering pakai teleconference dengan siswa.
Produktivitas konten digenjot dengan pemberlakuan pembelajaran berdiferensiasi dari kurikulum merdeka. Siswa-siswa saya bebas membuat tugas dengan memakai platform yang mereka sukai dan tidak dibatasi kreativitasnya. Akibatnya konten tik tok dan reels membanjir.
Saya saja kalah caggih dengan mereka, kok ya mudah sekali editing video dan nangkap ide yang unik di waktu yang mepet. Hasilnya pun bagus-bagus. Ah apa saya memang sudah setua itu ya :)
Berkonten ria dengan IndiHome, terutama konten-konten yang menyasar budaya dan kearifan lokal Indonesia akan signifikan sekali memberi persuasi pada masyarakat untuk mencintai diri sendiri, dan mencintai Indonesia.
Dengan kecintaan itu nanti semoga akan memantik ide-ide brilian dari anak muda generasi bangsa untuk bisa mengentas Indonesia dari kondisi negara berkembang menuju negara maju dan berdaulat. Semoga.
0 comments