Membaca cerpen-cerpen media menjadi sebuah keasyikan baru bagi saya sejak, kapan ya...mungkin sejak saya bergabung di salah satu komunitas menulis yang memiliki kelas tembus media. Ada salah satu tugas yang mengharuskan kami, para anggota untuk membuat cerpen lalu mengirimkannya ke media. Karena ingin menembus media itu jadi saya riset dengan banyak-banyak membaca cerpen media di lakonhidup.com. Dari aktivitas membaca itu harapannya saya bisa mendapat ide tulisan, mengerti bagaimana karakter cerpen media, bagaimana penulisannya dan sebagainya. Karena saya bukanlah jenius di bidang tulis menulis seperti Faisal Odang, atau Muna Masyari, atau Seno Gumirah Ajidarma yang cerpennya akan saya review disini dimana cerpen-cerpennya sudah banyak menghiasi media.
Sampai sekarang pun, setelah entah berapa bulan saya dedikasikan untuk belajar menulis, tetap saja saya butuh waktu yang cenderung lama untuk membuat sebuah tulisan. Bisa sampai 2 minggu baru jadi satu tulisan. Karena saya butuh waktu untuk menemukan ide, riset, mencari sudut pandang, baru menuliskannya. Meski demikian saya sangat menikmati proses tersebut. Alhamdulillah.
Setelah sekian banyak cerpen yang saya tulis, ada satu cerpen yang akhirnya bisa dimuat di media, waktu itu di Solopos dengan judul Tulah Kemarau. Cerpennya bisa dibaca di sini
Membaca cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik karya Seno Gumira Ajidarma di kutukata.id membuat saya sedikit mengerutkan kening. Seperti bukan cerpen karya beliau, karena beda sekali dengan cerpen-cerpennya yang lain. Meski memang untuk pemilihan diksi dan penataannya sangat ciamik dan unik. Seperti kebanyakan cerpen Seno, yang diambil dari ide-ide sederhana di kehidupan sehari-hari. Hal-hal remeh yang terjadi dan kita jumpai mungkin hampir setiap hari. Namun dituliskan dengan sudut pandang yang unik dan asyik.
Link cerpen bisa dibaca di sini
Cerpen-cerpen media memang menampilkan hal-hal yang terjadi di kehidupan, lebih ke surealis tetapi ada fiksi yang disempilkan dengan sangat apik. Karya sastra seperti cerpen digunakan untuk menceritakan realis yang terjadi tanpa mengggurui. Ada fakta-fakta yang bisa kita ambil dan pelajaran-pelajaran berharga di dalamnya.
Dari cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik ada lima poin yang bisa saya gunakan untuk mendeskripsikan secara luas tentang cerpen ini. Kelima poin ini antara lain: paragraph kunci, diksi-diksi yang menarik, penjelasan konten pada satu paragraph, pendapat tentang cerpen tersebut, serta amanat yang terkandung di dalamnya.
1. Paragraf kunci
Cerpen ini memuat satu sudut pandang yaitu sudut pandang orang ketiga
dengan alur maju. Pararaf kunci yang bisa saya simpulkan ada di tulisan ini:
“Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat
Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak
berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang
selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor
anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang
pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan
Hayati.”
2. Diksi-diksi yang menarik
Seperti biasa, Seno menggunakan diksi-diksi yang menarik dalam
cerpen-cerpennya. Tidak terkecuali di cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik.
Beberapa diksi menarik untuk saya ada di kalimat-kalimat berikut:
“Cahaya
keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat
keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut.”
“Onggokan
batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam,
sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu
jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu
yang mirip dengan sebuah perahu.”
“Wajahnya
begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa
sesuatu sedang terjadi.”
“Giginya
tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria.”
3. Penjelasan konten pada satu paragrafparagraf
inti
“Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat
Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak
berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang
selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor
anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang
pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati.”
Dari paragraph tersebut bisa diketahui tentang bagaimana perasaan
seorang Hayati yang begitu menggambarkan isi hatinya. Begitu cerah dan
sumringah. Dari kata-kata “memoerlihatkan jejak kaki Sukab dan Hayati” saya
langsung bisa menarik kesimpulan bahwa ini adalah kisah cinta. Tapi cinta
seperti apa? Seno tidak pernah membuat sebuah cerita yang sederhana. Jadi pasti
ada hal unik yang akan terjadi pada Sukab dan Haati yang digambarkan pada
kalimat-kalimat selanjutnya.
4. Pendapat tentang cerpen ini
Seperti biasa cerpen Seno selalu apik. Ada beberapa waktu yang harus
saya korbankan untuk bisa membaca cerpen ini beberapa kali untuk bisa mengerti
apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Kalimat-kalimat yang cerdas, sederhana
dalam diksi yang apik. Alurnya dibuat maju sehingga memudahkan untuk membaca
dan memahami isi cerpen.
5. Amanat yang terkandung di dalamnya
Setelah membaca beberapa kali saya baru bisa mengambil kesimpulan, apa
sih yang ingin disampaikan Seno dari cerpen ini. Tentang cinta yang egois
antara Sukab dan Hayati, dimana mereka tidak memperdulikan apa kata orang dan
tetap menjalin cinta meski terlarang. Mereka telah dewasa secara usia tetapi
tidak diikuti dengan kedewasaan akal dan pikiran.
Juga ada Waleh, istri dari Sukab yang sakit dan Dullah suami Hayati yang
sangat dewasa dalam menyikapi masalah yang terjadi. Alih-alih melampiaskan
emosi karena ditinggal selingkuh mereka justru cenderung legowo dan dengan
tulus melepaskan pasangan masing-masing jika memang itu membuat bahagia. Dullah
lebih suka menonton TV dibanding harusmencabut badik untuk menuntut balas pada
Sukab.
“Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku
tidak mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan
suamiku pulang dengan selamat—dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui
perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan.”
Kata-kata Waleh ini sangat menunjukkan kedewasaan yang
saat ini sangat jarang dimiliki. Hati lapang dengan doa-doa baik yang terus
diucapkan. Bukankah semesta akan mengembalikan apa-apa yang sudah kita lakukan
dengan berlipat-lipat.
Sedangkan untuk Hayati dan Sukab, bukankah bangkai itu
akan tetap tercium baunya meski ditutupi sedemikian rupa? Sama seperti cinta
mereka berdua yang terlarang dan berbau persis seperti bangkai ikan di atas
perahu mereka. Apakah cinta memang harus se-egois itu? Atau memang sudah tidak
berlaku lagi kata komitmen yang diucapkan seperti kertas bekas?
Seandainya keteguhan dan komitmen orang-orang zaman dahulu masih dimiliki generasi saat ini angka perceraian pasti sedikit sekali. Mereka menikah tanpa cinta tapi tetap bersama hingga maut memisahkan hanya diikat dengan janji pada Tuhan (ijab qabul) sebagai sebuah komitmen. Entahlah.
0 comments