Cerpen ini idenya sudah lama sekali saya simpan diam-diam. Waktu itu muncul karena membaca sebuah kisah di buku entah apa saya juga lupa. Lalu mulai mencari dan riset tentang para Nyai di jaman Belanda. Bagaimana kehidupan mereka, pro kontra yang terjadi terkait status tersebut di masa lalu, dan kisah setelah suami Belanda mereka kembali ke negara asal.
Memang ide itu lama sekali saya simpan dan tidak juga saya eksekusi. Baru ketika ada lomba yang diadakan oleh Ikutlomba saya coba bikin realnya.
Alhamdulillah cerpen ini diapresiasi dengan sangat baik oleh panitia dan mendapat juara 3. Berikut saya cantumkan cerpen tersebut untuk dibaca oleh teman-teman.
SEPASANG MATA DI BALIK SENJA
Kasmaran
mring rasa jati
Ngudi
pakerti ning rasa
Rasa
tresna budayane
Mangulah
kridha ning swara
Sekar
alit rinipta
Macapat
winastan tuhu
Mula
becik kawruhana
Lantunan tembang macapat
samar-samar membuat mata yang hendak terpejam kembali berpendar. Agni
memalingkan pandangan, menatap ke arah jendela besar sebelah barat rumah. Di sana duduk
perempuan tua dengan sanggul rapi menghiasi kepala, tegak memandang ke arah
matahari yang mulai terbenam. Mulutnya komat kamit menembangkan Asmarandana1 dengan laras slendro2 yang menelusup ke
relung-relung kalbu. Matanya berkabut meriakkan entah apa. Masih saja sama meski puluhan tahun telah berlalu.
Agni beranjak dari dipan bambu di
teras belakang, mendekati perempan yang sedang menikmati waktu dengan
menghayati lirik-lirik tembang yang dia nyanyikan.
“Mbah sampun badhe
manjing”3.
Agni memaksa
perempuan tua itu menoleh dan menyudahi aktivitas diam yang
menggelisahkan Agni sejak lama. Senja selalu membuat perempuan tua itu duduk
diam di singgasana, sebuah kursi kayu tua. Menatap matahari yang kembali dari
perputaran hari. Menyisakan semburat jingga yang akan menjadi saksi bisu perempuan
tua itu mengakhiri hari, dan hatinya.
Perempuan tua
itu berdiri, mengalungkan jemari keriputnya di lengan Agni. Tersenyum pelan dan
membawa Agni melangkah bersama ke kamar miliknya. Umurnya sudah hampir seabad,
secara fisik pun masih sangat sehat. Tapi Agni tahu di dalam hati perempuan itu
terdapat luka yang masih menganga.
***
Agni kecil
berlarian di ruang tengah rumah besar milik neneknya. Rumah yang sangat luas
membuatnya bebas berlarian kesana kemari. Tapi langkah kaki kecilnya terhenti
begitu telinganya mendengar tembang macapat didengungkan di sore yang cerah.
Tidak cocok menurutnya. Lalu dilihatnya sang nenek yang duduk diam memandang ke
jendela yang mengguratkan senja di langit barat. Terdiam dalam waktu yang lama.
Lama Agni baru
tahu kenapa neneknya melakukan ritual menjelang senja itu setiap hari sepanjang
ingatan Agni. Kisah itu diceritakan padanya tepat ketika usianya menginjak 12
tahun. Dan Agni menegang saat melihat butiran airmata yang tak pernah terlihat
di mata neneknya tumpah ruah saat mengisahkannya. Pasti sangat berat, terlampau
berat untuk mengingat kembali apa yang telah membuat hati perempuan tua itu
terluka begitu dalam. Begitu lama.
Beranjak remaja
Agni tahu apa yang harus dia lakukan. Terlebih untuk neneknya. Dia tahu pasti
berat sekali apa yang disimpan lama di hati tua neneknya. Sejak itu satu mimpi
dan tekad tertanam kuat dalam hatinya. Menyembuhkan luka di hati nenek, dengan
begitu dia sekaligus menyembuhkan sendiri luka hatinya.
Agni remaja
mulai mengejar mimpinya. Bertekad bulat harus mampu menguak informasi dari
neneknya meski itu akan membuka luka. Agni sangat bergantung pada cerita sang
nenek untuk dapat menggapai mimpi itu.
“Asmane4
Ranu Van Lovink, simbah5 tidak ingat bagaimana wajahnya
sekarang”.
Wajah Agni
berseri begitu mendengar satu nama yang akan menjadi kunci. Diciumnya sang
nenek dengan perasaan bahagia, lalu beranjak pergi tanpa mengucap sepatah kata.
***
Udara dingin
menyambut Agni begitu menginjakkan kaki keluar dari Schiphol. Jaket dua lapis
yang dia pakai tak mampu membendung hawa dingin yang menggigilkan tubuhnya.
Cepat dia larikan mata mencari seseorang yang akan menjemput.
“Agni, come
here!”
Suara baritone
khas milik Baron mengalihkan konsentrasi Agni. Dia berlari menuju tempat Baron
yang sedang bersandar di mobilnya.
“Goedendag6 Agni, welcome to Holland”.
Agni
menghambur dalam pelukan Baron. Sudah lama sekali tidak bertemu membuatnya
rindu. Baron adalah salah satu teman masa kecilnya. Sejak SMA memutuskan untuk
tinggal bersama ayahnya di Belanda. Melanjutkan sekolah dan kuliah di sana.
Baron pula yang selama ini membantu Agni dalam pencarian panjangnya menggapai
mimpi. Setiap perkembangan baru selalu diberitahukan oleh Baron padanya.
“Jadi sudah
ada titik terang?”.
Agni
memandang Baron yang tengah sibuk mengemudi. Dia tak sabar lagi. Setelah
berjuang selama sepuluh tahun Baron mengatakan ada informasi penting yang
didapatnya dari teman ayahnya yang seorang intelejen di Belanda. Agni tak
sabaran ingin melalukan pengecekan informasi dari Baron semasa di Indonesia.
Tapi dia sedang berjuang mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintah untuk kuliah
di Belanda.
“Jangan
terburu-buru, selesaikan dulu administrasi kuliahmu. Nanti akan kutemani untuk
mencarinya”.
Agni
terdiam. Ini hari pertamanya menginjakkan kaki di Belanda. Setelah mendapat
kabar aplikasi beasiswanya diterima di Utrecht University dia segera berkemas.
Agni berburu dengan waktu. Usia neneknya menjadi sesuatu yang menggelisahkan.
Dia tak mau mimpinya hancur karena kepergian sang nenek.
Agni sudah
melakukan berbagai cara. Mencari keberadaan seseorang yang telah lama
meninggalkan Indonesia tanpa adanya koneksi memang membutuhkan kerja keras.
Pencariannya menjadi lebih mudah saat dia tahu Baron sedang berada di Belanda
tujuh tahun yang lalu. Selama itu baik Agni maupun Baron bekerja sama
menggenapkan pencarian Agni.
***
“Dia berada
di Almelo. Butuh waktu kurang dari 2 jam untuk sampai di sana”.
Agni
menangkupkan tangan di dada meredam gelisah yang membuat tak nyaman. Entah
bagaimana nanti pertemuan mereka. Baron memandang Agni dengan tatapan prihatin,
tak mudah menata hati untuk bertemu dengan seseorang yang menjadi prioritas
hidup namun tak mengenal Agni sama sekali. Cinta dalam hati Baron yang
membuatnya rela membantu Agni hingga saat ini. Bagi Baron seseorang yang dicari
Agni itu adalah tiket untuknya memenangkan hati Agni.
***
Sebuah
rumah pedesaan sederhana terpampang saat Agni keluar dari dalam mobil. Baron
menuntunnya mendekati pintu rumah yang terlihat nyaman dengan bunga-bunga
menghiasi taman.
“Pardon7”.
Baron
mengetuk pelan pintu beberapa kali sebelum seseorang berambut hitam legam
membukanya. Agni terkesiap. Baron lebih dominan dalam percakapan dengan lelaki
di depannya setelah mereka dipersilahkan masuk. Bahasa Belanda Agni belum mahir
tapi dia bisa menangkap beberapa patah kata dan mengasumsikan sendiri artinya.
“Apa Anda
mengenal Waginah dari Indonesia?”.
Agni
bertanya dengan tak sabar pada lelaki di depannya. Lelaki itu menatap tajam
Agni dengan tubuh bergetar.
Cerita
mengalir dari bibir Agni tentang bagaimana neneknya begitu menderita setelah
terpaksa berpisah dengan Ranu saat masih bayi. Statusnya yang hanya seorang
Nyai mau tak mau merelakan tuannya kembali ke Belanda dengan terpaksa. Jepang
yang telah mengalahkan Belanda mengusir semua orang Belanda dari bumi
Indonesia. Ranu dibawa serta sang ayah yang menyisakan airmata dan luka di hati
Waginah. Seharusnya dia bisa ikut pergi jika sang Tuan mau meresmikan hubungan
mereka ke pernikahan. Tapi itu hal yang mustahil. Tuannya telah beristri.
Waginah merelakan dirinya terpenjara dalam kerinduan pada buah hati lebih dari
separuh abad.
Lelaki di
depannya terpaku. Lalu beranjak masuk dan mengambil satu kotak kecil dari
kamarnya. Agni terbelalak memandang liontin ukiran separuh hati di depannya.
Tangannya reflek merogoh ke dalam kemeja yang dia pakai, mengeluarkan liontin
satunya dari baliknya. Itu adalah pemberian sang ibu sebelum meninggal.
Mereka
berdua sama-sama berair mata. Pertemuan ini adalah pintu menuju penyembuhan
luka. Baron hanya mampu diam dan mendekap bahu Agni untuk menguatkan.
***
Tembang
macapat kembali terdengar di senja entah keberapa. Perempuan tua itu lekat
memandang langit barat yang mulai dipenuhi jingga. Mulutnya komat-kamit
menyanyikan tembang Asmarandana dengan merdu. Tegak memandang matahari
yang pelan-pelan pergi meninggalkan bumi.
“Mbah
sampun badhe manjing”.
Agni
menepuk pelan bahu neneknya. Senyum terllihat dari bibir tua yang membeku
tiba-tiba. Di samping Agni berdiri seorang lelaki dengan wajah serupa dirinya.
Airmata membanjir di wajah perempuan tua itu. Airmata kesekian yang dilihat
Agni. Namun tidak lagi dia rasakan perih. Hati Agni lega. Bebannya terangkat
pelan seiring pertemuan ibu dan anak yang lama dia mimpikan.
Asmarandana1, salah satu tembang macapat
yang bercerita tentang kisah asmara.
laras
slendro2, salah satu cara menyanyikan tembang macapat.
“Mbah
sampun badhe manjing?”3,
Jawa, “Nek sudah mau Maghrib”.
Asmane4,
Jawa, Namanya.
Simbah5, Jawa, Nenek.
Goedendag6, Belanda, Selamat Siang.
“Pardon7”,
Belanda, Permisi.
Bagaimana? suka dengan cerpennya?
Saya sangat mengharapkan feedback dari teman-teman sebagai refleksi untuk saya agar lebih berkembang. Terima kasih sudah membaca 😊
Borgata Hotel Casino & Spa Launches First in Atlantic City
ReplyDeleteThe Borgata 전라북도 출장샵 Hotel Casino 상주 출장샵 & Spa will be 김제 출장마사지 open for business in the Atlantic 광양 출장안마 City 여수 출장샵 area on June 4, 2021. The resort and casino was