Membaca Hujan Matahari karya Kurniawan Gunadi membuat saya auto flashback pada ingatan apa dan bagaimana perasaan saya ketika membaca karya Boy Candra. Ada banyak cerita dan prosa yang memenuhi buku tersebut.
Saya sendiri termasuk yang suka menulis puisi based on cerita-cerita yang saya baca. Di project saya yang terbaru saya mencoba menulis puisi dari cerita-cerita rakyat kondang dari penjuru nusantara. Setelah membaca buku Hujan Matahari ini saya jadi ingin membuat juga puisi based on beberapa cerita yang ditulis di sana.
Keinginan ini seperti mendapat dukungan dari kelas #Reading Challenge ODOP9 yang memberi tugas di pekan kedua untuk membuat puisi dari buku yang dibaca. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Ada tiga cerita yang saya ambil untuk dibuat puisi dari buku Hujan Matahari tersebut, yaitu:
- Dialog
Puisi pertama saya terinspirasi dari cerita Dialog yang berkisah tentang sebuah dialog antara laki-laki, perempuan, dan Tuhan
ANTARA LAKI-LAKI, PEREMPUAN, DAN TUHAN
1/
Ada tanya menguarkan sengketa
Tentang laki-laki atau perempuan, pun mungkin keduanya
Manakala senja melarungkan nisbah
Sosok-sosok menghujam dalam pasrah doa
Siapa sebenarnya?
2/
Ketika tahu aku laki-laki
Ada tangis tak mampu redam di relung-relung
Di atas bahuku beban membatu
Empat perempuan dalam pikul tanggung jawab
Ibu, Istri, Anak Perempuan, Saudara Perempuan
mampukah?
sedang aku sibuk bermain-main dalam sungging
Ketika tahu aku laki-laki
Ada ragu menyusupi waktu
Saat habis daya, juga upaya
Nafkah, kuatkah mencukupi mereka
sedang aku hanya fakir yang mencari takdir
Ketika tahu aku laki-laki
Ada adil yang susul-menyusul ingin dirundung
Kepada bapak ibu lebih dari anak istri
Sepadankah?
sedang aku hanya anak dalam tempurung
Ketika tahu aku laki-laki
Ada gelisah tak kunjung pasrah
Sebagai nahkoda, rumah tangga berlayar dalam samudera
Amanahkah?
sedang surga sungguh kekal tak terjamah
3/
Ketika tahu aku perempuan
Airmata kutumpahkan pada kanal-kanal
Penjagaanku begitu erat
berhargakah?
Sedang aku menggadai kemuliaan, sedikit demi sedikit
Ketika tahu aku perempuan
Ada durhaka menyempil ingin dicukil
Kepada suami lebih dari bapak ibu, bakti terasa pilu
mampukah?
Sedang aku hanya anak yang bergumul dalam sarung
Ketika tahu aku perempuan
Ada ragu menggumpal dalam nadi
Bayi-bayi dalam lindunganku, taatkah kepadaMu
sanggupkah?
Sedang aku hanya hamba yang sering alpa
Ketika tahu aku perempuan
Ada kepantasan yang melekat tak mampu bersekat
Sebagai perantara kehidupan bagi manusia-manusia baru
bisakah?
sedang aku hanya kehidupan pertama bagi bapak dan ibu yang masih saja cemburu
4/
Ketika tahu ada laki-laki juga perempuan
Ada tanya mengharu biru di atas nakas berdebu
Mengapa Kau turunkan kami ke bumi
Siapa penabuh genderang
Sedang kami masih seorang diri
Bagaimana kami bersatu, satu sama lain
5/
Sudahkah kalian percaya
dan mempercayakan hidup
padaKu sepenuhnya?
- Orang-Orang yang Mencari
Puisi kedua saya terinspirasi dari cerita tentang Orang-Orang yang Mencari yang berkisah tentang pencarian akan hidup.
SIAPAKAH SANG PENCARI
Ketika hidup disulap bagai warna warni
Pada manusia dalam beda kondisi, atau visi
Kasih sayang berlimpah, ataukah bahkan tak bersua
Kaya, atau miskin
Beragama, atau kafir
Dari perjalanan segala dirapal
Bagaimana memandang, bagaimana berkasih sayang
ataukah kemarahan yang dipendam dalam diam
Ketika tanya meruapi awang-awang
pencarian dihadang dalam nyalang
tentang hidup juga Tuhan
Akhir adalah pemahaman, lebih dalam
Para pencari itu
adalah aku, kamu, kita
Selayaknya hidup mesti bermakna
Carilah dalam tuang keping-keping
dan temukan dirimu di dalam dirimu
ada Tuhan di sana, dan sebentuk surga
- Benang Layang-Layang
TENTANG BENANG LAYANG-LAYANG
Ada layang-layang, elok dipandang
Sayang hanya tertunduk nyalang
Kemanakah benang, terbang begitu dirindukan
Ada benang, tergulung tenang
Sayang hanya teronggok gamang
Kemanakah layang, layang, terikat begitu diharapkan
Seindah layang-layang, warna beragam
Benang adalah jalan untuk mampu terbang
Tinggikah?
Putuskah?
Atau bahkan hilang arah?
Benang adalah jawab
atas segala nikmat
Layang-layang ingin memeluk langit
semakin tinggi, semakin baik
Ketika layang-layang adalah adam
dan benang mewujud Hawa
Adam tak berarti tanpa Hawa
Serumpun bijaksana,
atau eksklusif disandang dalam tawa
Hawa mampu menyanding Adam tinggi hingga surga
Demikian ke-3 puisi yang mampu saya buat dari tiga cerita di buku Hujan Matahari karya Kurniawan Gunadi. Semoga menginspirasi dan salam literasi.
#RCO9
#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop9
Aku suka dengan puisi layang-layang nya. Teringat dg arti kebebasan. Meski rapuh tetap dikejar..
ReplyDeleteTerima kasih mbak 😁
ReplyDeleteSasuga~ :"D
ReplyDeleteAku jadi berasa malu bikin puisi sebiji tapi ngeluhnya banyak~ :"D
Semangat, mbaknya~ ><
Sasuga apaan ya? :D
ReplyDeleteSubhaanallaah... puisninya bagus-bagus ^^ Puisi yang ketiga jadi favorit di sini
ReplyDeleteSangat menginspirasi~
Alhamdulillah, terima kasih :D
DeleteWah Mbak ini sih emang jago bikin puisinya, karena emang suka ya hehe. Pantesan bagus2 🥰
ReplyDeleteTertarik sama puisi layang-layang. Membuatku berimajinasi melayang-layang.
ReplyDeleteNgga diragukan lagi diksinya
ReplyDeleteBagus puisinya
Aku suka ,dengan puisinya mbak, aku sering banya puisinya mbak @marwita di Ig seratus hari berpuisi
ReplyDeleteHehehe masih belajar mbak, itu kalau g dipaksa nulis g bakal jadi juga :D
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAku suka ,dengan puisinya mbak, aku sering banya puisinya mbak @marwita di Ig seratus hari berpuisi
ReplyDeleteMenjadi laki,-laki maupun perempuan punya tanggung jawab masing masing ya kak. Bagus puisinya
ReplyDeleteiya, keduanya punya :)
DeleteBtik nian puisinya mb
ReplyDeleteCantik
ReplyDelete