Kali ini saya mencoba mengikuti kompetisi lomba menulis cerpen yang diadakan oleh komunitas blogger Semarang @gandjelrel dalam rangka memperingati hari jadinya. Tema yang dipakai untuk lomba cerpen kali ini adalah "Ulang Tahun" karena memang didedikasikan untuk memperingati hari jadi GanjelRel.
- Untuk memeriahkan hari jadi Gandjel Rel, meski bukan orang Semarang tapi saya termasuk penggemar lumpia dan tahu bakso khas Semarang. Nah lo kan jadi ngelantur 😅
- Mengasah ketrampilan menulis tentunya. Semakin banyak berlatih semakin bagus nanti tulisannya, ya kan?
- Belajar ngeblog biar makin mahir.
- Berharap menjadi pemenang pastinya ya. Yang penting usaha dulu kan, bagaimana hasilnya serahkan pada Sang Pemilik Hidup 😀
Berikut cerpen yang saya buat untuk lomba kali ini. Selamat membaca.
KADO YANG DIRINDUKAN
Oleh: Marwita Oktaviana
Kawi Sekar
Gones Sekar pepundhen Sri Kresna
Lir puspita warnane kusumeng pura1
Tembang sekar mulya mengalun mengiringi malam yang semakin pekat tak
terbendung. Gemintang tengah pendar bersinar namun di dalam sebuah ruang ada
kepedihan yang melingkupi tak terhadang.
Lintang gamang, dalam genggaman tangannya sebuah foto usang menampakkan
seraut wajah perempuan dengan sanggul di kepala. Tersenyum dengan pandangan
mata membius. Cantik. Pelan-pelan ada airmata mengalir di pipi tanpa dia
sadari. Mata sayu itu menampakkan riak hati yang coba dia sembunyikan.
Waktu berlalu tanpa disadari. Sudah satu jam Lintang terpaku menatap
foto perempuan bersanggul itu. Mungkin inilah sakit yang paling sakit, terkurung
dalam badai yang terus merongrong hati. Cinta, tak cinta, kebingungan
melingkupi hari-harinya
“Nduk wes dalu, ndang turu!2”
Simbok3 mengelus pucuk kepala Lintang penuh sayang. Lintang
mendesah dan menaruh foto itu di atas meja kecil di samping tempat tidur. Simbok
tak luput melihat wajah perempuan di foto yang coba Lintang sembunyikan.
“Wes to Cah Ayu, ojo mikir jeru, uripmu lakoni tansah becik, Gusti
Allah ora sare3”
Lintang memeluk simbok erat sekedar sebagai penguat. Perempuan
dalam pelukannya adalah sumber kebahagiaan. Dia yang bukan siapa-siapa tapi mau
merawatnya semenjak bayi hingga kini. Sudah seperti ibu sendiri, bahkan lebih
***
Tembang Ratna Mulya berlaras slendro memenuhi aula. Puluhan penari
sedang melenggak-lenggokkan tubuhnya mengikuti irama. Lintang salah satunya.
Sebagai penari adalah sebuah jalan menuju tujuan yang lama dia pendam. Ini
adalah jalan agar kebingungan dalam hatinya bisa sedikit terobati.
Sebentar lagi pagelaran sakral akan digubah di Sasana Sewaka. Raja baru
akan dinobatkan sebagai penerus tahta. Keraton sibuk dengan berbagai persiapan.
Saat itulah Bedhaya Ketawang dimainkan di depan raja sebagai persembahan.
***
Lintang sedang menggulung selendang yang dipakainya berlatih. Senja
telah berdiam di langit barat. Keringat yang menutupi wajah Lintang justru
memancarkan kehangatan. Sudah banyak sekali lelaki yang meminta bersanding,
namun tak pernah ditanggapi olehnya. Ada tujuan besar yang harus dia tuntaskan
sebelum bisa berfikir untuk hidupya sendiri.
“Mbok sampun sore, mboten wangsul to?4”
Lintang menghampiri simbok yang masih sibuk membereskan dapur.
Sambil menunggu dia ikut membantu meletakkan berbagai peralatan masak dan makan
di tempatnya. Mereka pulang bersama.
“Wes siap kanggo sesuk Nduk?5”
Lintang mengangguk mantap. Bertahun-tahun sudah dia berlatih untuk dapat
menarikan Bedhaya Ketawang dengan luwes dan penuh penghayatan. Tarian itu
memang berkisah tentang jalinan asmara Nyai Ratu Kidul dengan Sultan Agung,
tapi bagi Lintang itu adalah dialog cinta yang ingin dia sampaikan pada
seseorang.
***
Riuh Sasana Sewaka mengalihkan Lintang dari lamunan. Seorang teman
tergopoh-gopoh menghampirinya dengan senyum sumringah.
“Kita berhasil Lintang”.
Rona bahagia tak bisa hilang di wajah dua orang teman itu. Mereka
terpilih sebagai anggota dari sembilan penari yang akan memainkan Bedhaya
Ketawang di depan raja. Satu langkah sudah digenggam.
Esoknya Lintang mulai berpuasa mutih sebagai syarat ritual untuk
melancarkan pagelaran. Dia tidak perlu khawatir akan datangnya haid, Lintang
masih akan suci pada hari pertunjukan nanti, kalau tidak dia harus melaksanakan
caos dhahar6 sebagai syarat bisa tampil di Sasana Sewaka.
***
Sembilan penari telah bersiap. Lintang menunduk dalam, mencoba meredam
segala gemuruh yang mengusik dada.
“Tenangno atimu Nduk!7”
Simbok menepuk-nepuk pelan pundak Lintang. Perempuan paruh baya itu tahu
bagaimana gejolak di hati putri semata wayangnya.
Lintang berada paling utara. Sebagai penari buncit8
sehingga sosoknya akan terlihat paling akhir ketika pertunjukan berlangsung.
Sudah sehari semalam kesembilan penari menjalani pingitan di Gedhong Budaya dan
dirias hingga malih rupa.
Tembang Durma sedang mengalun ketika Lintang menatap langsung perempuan
di depannya. Sang ratu. Wajah itu begitu anggun menampakkan kecantikan
paripurna meski usia telah lebih dari paruh baya. Wajah itu serupa dirinya
dalam gurat usia. Perempuan dalam foto menjelma semacam fatamorgana. Sungguh
dekat tapi tak tergapai, betapapun ingin Lintang memeluk meski hanya sekejap.
Perempuan itu yang mengandung dan melahirkannya ke dunia, tapi takdir
merampas hak untuk hidup bersama. Hari ini tepat di hari Lintang lahir.
Perayaan ulang tahun yang bersamaan dengan Tingalan Jumenengan9
dirayakan seluruh rakyat Kasunanan. Berkah melimpah diperoleh Lintang
Menatap wajah itu dalam jarak sepenggalan adalah hadiah yang diidamkan
Lintang sejak kanak-kanak. Cukup bisa menatap tak lebih, tak kurang. Karena dia
tahu tak mungkin untuk mereka bersama. Lintang hanyalah anak haram yang
dilupakan.
“Nduk ayo”
Simbok menuntun Lintang meninggalkan Sasana Sewaka dengan airmata. Cinta itu
bukan hanya tumbuh dari seorang ibu, bagi simbok Lintang adalah hidupnya.
Cintanya telah mampu melebihi cinta sang ibu kandung yang tak pernah dia
rasakan.
Lintang tersenyum menatap simboknya. Ada cinta meluap yang hanya
bisa dia pendam, tak cukup dengan kata-kata. Kepada perempuan itu terima kasih
tak terhingga dia berikan.
Kawi Sekar
Gones Sekar pepundhen Sri Kresna
Lir puspita warnane kusumeng pura1, Jawa, Lirik tembang sekar mulya
Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas BloggerSemarang Gandjel Rel"
Bayangin rasanya jadi lintang. Periiih...
ReplyDeleteTeriris-iris rasanya kalau jadi Lintang yaaa.. ih Sang Ratu kok gitu siiihh...
ReplyDeleteKarena Lintang lahir sebab orang lain 😁
ReplyDelete