Kebetulan saya termasuk beruntung karena sudah mengenal berbagai cerita rakyat sejak kecil. Zaman dulu karena ekonomi orang tua masih pas-pasan, saya dan adik saya tidak bisa mendapatkan bermacam hiburan baik berupa mainan maupun sekedar jalan-jalan. Bapak dan ibu terbiasa mendongeng untuk saya dan adik saya sebelum tidur. Dongeng itu dulu adalah hiburan yang selalu saya tunggu-tunggu. Mungkin karena mendengar dongeng-dongeng itu imajinasi saya berkembang dengan baik. Untuk manfaat dongeng yang lain bisa dibaca
di sini.
Nah kali ini saya tertantang mengikuti event #100hariberpuisi yang diadakan oleh komunitas ILC. Tema besar yang saya ambil adalah mengangkat bermacam-macam cerita rakyat di Indonesia menjadi sebuah puisi.
Alasan memilih cerita rakyat sebagai tema:
- Mengingat kembali bermacam cerita rakyat yang pernah didongengkan oleh orangtua saya.
- Memperbanyak literatur cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia.
- Ikut menjaga kelestarian budaya Indonesia agar tidak punah.
- Mengajak anak-anak untuk lebih mencintai budaya Indonesia.
- dan...InshaAllah bisa menstimulus anak-anak untuk bisa menjadi generasi yang melek literasi.
Kali ini cerita rakyat yang saya ambil adalah cerita rakyat dari propinsi Sumatera Utara, yaitu kisah legenda yang menceritakan bagaimana terjadinya kolam Sampuraga yang terletak di dekat pemukiman padat Sirambas di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.
Berikut kisahnya:
Dahulu di daerah Padang Bolak hiduplah seorag anak bernama Sampuraga dan ibunya. Mereka tinggal di sebuah gubuk reot yang sebenarnya sudah tidak layak huni. Sehari-hari mereka mencari nafkah dengan bekerja di ladang milik orang lain. Meskipun hidup susah tapi mereka saling menyayangi.
Sampuraga dan ibunya sangat jujur sehingga disukai oleh orang-orang kaya pemilik lahan sehingga mereka mudah mendapat pekerjaan untuk makan sehari-hari. Suatu hari saat istirahat makan siang, Sampuraga dan sang majikan berbincang-bincang.
"Wahai Sampuraga tidakkah kau ingin merubah nasib. Kau masih sangat muda, pergilah ke daerah subur, siapa tahu disana menjadi ladang rejeki"
"Dimanakah itu Tuan?"
"Namanya Mandailing, disana tanahnya sangat subur dan ada sungai yang mengandung emas. Banyak warga yang mendulang emas disana."
Mendengar itu muncul sebuah keinginan dari Sampuraga untuk pergi ke sana. Dia ingin merubah nasib dan membahagiakan sang ibu yang telah merawatnya dengan tulus. Sampuraga kemudian meminta ijin pada ibunya. Meski berat tapi sang ibu mengijinkan Sampuraga pergi untuk menggapai mimpinya.
Sampuraga akhirnya pergi setelah berpamitan dengan sang ibu. Sesampai di Mandailing, Sampuraga terpukau melihat keindahan alam di daerah tersebut. Dia bergegas mencari pekerjaan di sana. Pekerjaan pertamanya adalah bekerja pada seorang pedagang yang kaya raya. Karena jujur majikannya sangat menyukai Sampuraga.
Suatu hari sang majikan memberikan modal untuk berdagang pada Sampuraga. Sampuraga sangat berterima kasih dan memulai langkah berdagang sendiri. Dalam waktu singkat usaha Sampuraga mengalami kemajuan pesat. Dia menabung hasil dagangannya untuk menambah modal. Dari sana usaha milik Sampuraga semakin lama semakin besar.
Melihat keberhasilan Sampuraga, sang majikan akhirnya meminta Sampuraga untuk menikahi putrinya yang sangat cantik. Tentu saja Sampuraga menerima dengan senang hati.
Pesta pernikahan dilaksanakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapannya saja sudah dilakukan satu bulan sebelumnya. Puluhan ekor kerbau dan kambing disediakan. Demikian pula dengan
Gordang Sambilan dan
Gordang Boru terbaik disediakan untuk menghibur para tamu.
Berita tentang upacara pernikahan itu tersebar luas hingga ke pelosok desa. Banyak warga yang mengetahui tentang kabar tersebut, begitu pula dengan ibu Sampuraga. Karena penasaran sang ibu bertekad pergi ke Mandailing dengan membawa bekal seadanya.
Gordang Sambilan dan Gordang Boru sedang bertalu-talu saat sang ibu sampai di sana. Dilihatnya seorang pemuda yang tak lain adalah Sampuraga sedang duduk di pelaminan. Karena rindu sang ibu berteriak memanggil Sampuraga dan memeluknya. Karena malu Sampuraga membentak sang ibu.
"Hei siapa kamu nenek tua, aku tidak punya ibu sepertimu. Lekas pergi dari sini!"
Mata hati Sampuraga telah tertutup sehingga berani mengingkari ibu kandungnya sendiri. Sang ibu yang diseret oleh pengawal Sampuraga dengan airmata berderai mengucapkan doa.
"Ya Tuhan jika benar pemuda itu adalah Sampuraga berilah dia pelajaran. Dia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri!"
Sesaat setelah itu petir dan angin kencang susul-menyusul diiringi hujan deras yang menenggelamkan semuanya. Sampuraga beserta semua warga hilang begitu saja.
Beberapa hari kemudian di tempat itu muncul kolam air panas dengan batu kapur yang berbentuk mirip kerbau di sekitarnya. Karena itulah warga menamainya dengan kolam Sampuraga.
Demikian cerita rakyat dari Sumatera Utara tentang asal mula terjadinya kolam Sampuraga. Dari cerita tersebut saya mendapat ide menuliskan puisi berikut:
SAMPURAGA
MENJELMA TIADA
By:
Marwita Oktaviana
Padang
Bolak dan Sampuraga bercerita
Sehari
dua, nafkah didulang dari sawah
Bukan
majikan hanya buruh kasar
Ibu
tua dan gubuk derita, saksi mata
Kepada
ibu niat digaduh
Ia
dan bahagia ingin direngkuh
Mandailing
digadang sebagai jalan
Subur
memeluk emas dalam tanah-tanah
Peluang
ingin digubah
Sampuraga
telaten, memanen dari bawah
Majikan
riang sebab ia ringan tangan
Segenggam
uang dan janji masa depan
Sampuraga
seorang, berniaga sebagai tuan
Semacam
anugrah, harta digenggam mudah
Putri
jelita disanding megah
Kabar
menyebar bagai dandelion dan tiupan
Sang
ibu beroleh dengar, tak masuk akal
Gordan
Sambilan bertalu-talu, sang ibu mengayuh langkah tabu
“Anakku
ini ibumu”
Sampuraga
malu, sang ibu disangkal layu
Semacam
kutukan, air buncah sebagai balasan
Mandailing
luka dalam genangan tak pernah padam
Musnah
segala beralih lautan kubang berupa airmata pualam
Ibu
adalah segala, darinya sumur doa
Usah
khianat,
Sekali saja sesat, Sampuraga tamat
Semoga teman-teman menikmati cerita rakyat dan puisi yang saya tulis. Kritik dan saran diterima banget dong biar saya tambah keren 😂
Terima kasih sampai jumpa di cerita selanjutnya.
0 comments