Awal mula mengenal dunia tulis-menulis saya berkenalan dengan puisi. Puisi mostly lebih mudah dibuat karena jumlah kata yang tidak banyak dan fokus. Meski memang harus banyak berlatih untuk bisa menulis puisi yang baik. Tapi lantas saya kepincut dengan cerpen.
Menulis cerpen memang butuh effort yang lebih banyak dari puisi. Dari menentukan tema, riset, hingga eksekusi menulis. Saya biasanya butuh waktu seminggu hingga dua minggu untuk menulis cerpen.
Alasan kenapa pilih genre cerpen historical fiction
Waktu itu saya mencoba membuat salah satu jenis cerpen, yaitu historical fiction. Cerpen ini bertema tentang sejarah, bisa diambil dari dalam atau luar negeri. Alasan kenapa saya pilih genre cerpen ini adalah:
- Suka dengan budaya Indonesia khususnya Jawa
- Ikut serta mengenalkan dan melestarikan budaya Indonesia
- Memenuhi target tugas kelas fiksi dari komunitas ODOP (One Day One Post)
Dari semua sejarah yang bisa saya angkat, saya tertarik dengan sejarah Gajah Mada dan mencoba mencari satu angle untuk saya tuliskan ceritanya. Basicnya memang kisah Gajah Mada tapi saya bumbui fiksi.
Saya menghabiskan waktu dua minggu untuk membuat satu cerpen, mulai dari menentukan tema, riset, hingga menulis. Hasilnya saya jujur nggak tahu bagus atau tidak. Ini percobaan pertama saya. Lalu saya iseng baca-baca ada lomba cerpen dengan tema bebas yang diadakan oleh Tulis.me dan saya mencoba peruntungan dengan mengirimkan cerpen saya tadi.
Eh Alhamdulillah banget ternyata cerpen ini terpilih menjadi pemenang ke-4 lomba cerpen tingkat nasional yang diadakan oleh Tulis.me tersebut.
Berikut cerpen historical fiction yang saya tulis:
PRADYUMNA MAHAPATIH
By: Marwita Oktaviana
Lelaki bermata tajam mengendap-ngendap
di antara rimbunan pohon bambu yang tumbuh lebat di tepian sungai. Niatnya untuk
semedi di atas batu besar di antara aliran tukad1
kandas sudah. Di tengah tukad
terlihat seorang gadis ayu yang sedang menikmati waktu dengan berendam dalam
aliran air yang menyejukkan. Ini bukan yang pertama, sudah beberapa kali dia menikmati
kemolekan tubuh yang terpampang jelas di depan mata. Ritual semedi rutin
ditinggalkan hanya untuk menikmati pemandangan indah yang menantang birahi
Gadis itu adalah putri dari pemilik
pedukuhan tempatnya mengistirahatkan jiwa dan raga setelah peperangan merebut
Bali dari kekuasaan Raja Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten beberapa waktu
berselang. Lelah yang dia rasakan setelah melawan Kebo Iwa di Banyuwangi lalu
dilanjutkan dengan peperangan dahsyat melawan kehebatan Pasung Grigis yang
melegenda membuat tenaga dan pikirannya terkuras.
***
“Sire
nike?2”.
Luh menghentikan kegiatan membasuh tubuh
saat mendengar suara gemeretak dari arah rimbun bambu di atasnya. Matanya menelisik
sesosok lelaki sedang mengawasinya. Membuat risih dan resah. Harusnya tukad ini adalah miliknya seorang.
Terselubung dalam rimbun bambu yang mengelilingi pedukuhan. Bebas dari campur
tangan orang lain selain anggota pedukuhan inti. Dia dan ayahnya. lalu siapa
yang lancang mengintip ritual mandinya sepagi ini. Dengan sigap disambarnya
jarik untuk membungkus tubuhnya. Lalu dalam satu tarikan nafas beberapa
lompatan berhasil dia lalui. Cepat, membuat gelagapan orang yang telah lancang
mengganggunya.
Lelaki itu terjerembab karena begitu
terkejut dengan kedatangan perempuan dengan jarik menutup sebagian tubuhnya yang
tiba-tiba. Ilmu kanuragan mumpuni yang dia miliki rupanya tak cukup kuat membuatnya
mempertahankan posisi atau sekedar beranjak melarikan diri. Selapis jarik yang
sedikit menutupi tubuh perempuan muda yang berdiri tepat di depannya membuat dia
kehilangan fokus. Matanya menatap lapar inci demi inci tubuh indah itu. Hasrat
lelakinya muncul tanpa bisa ditahan hingga menyesakkan pangkal paha. Karena
malu dia menundukkan kepala. Tanpa berani memandang kembali tubuh indah itu.
Meski disadari getar-getar dalam hatinya membanjir tanpa diminta.
“Mada, kaukah itu?”.
Mata perempuan itu menyipit memastikan
bahwa di depannya memang Patih Amangkubumi Gajah Mada. Seorang lelaki yang
telah mengambil alih Bali untuk menjadi bagian dari Majapahit. Perempuan itu
tak habis fikir bagaimana mungkin seorang gagah berani yang berhasil mengalahkan
Kebo Iwa yang berbadan setengah raksasa berkekuatan jauh di atas manusia normal
itu bisa mempermalukan dirinya sendiri dengan mengintipnya mandi.
“Maafkan kebodohanku ini Luh, aku tidak
tahu harus bagaimana meredam gejolak hati untuk datang kesini melihatmu”, ucap
Gajah Mada sembari mengatupkan tangan di atas kepala. Sembah untuk Luh yang
baginya lebih indah dari peremuan-perempuan yang pernah ada.
Gajah Mada sangat sulit menempatkan
diri. Di hatinya entah bagaimana tumbuh cinta untuk Luh. Padahal dia telah
bersumpah untuk tidak tergoda oleh wanita selama penaklukan atas tanah-tanah
Nusantara. Dia sendiri yang mengikrarkan sumpah Palapa di hadapan Rajapatni
Gayatri. Menyerahkan dirinya utuh dalam misi menyatukan Nusantara di bawah
naungan Wilwatikta3. Namun
apalah daya, cinta datang memikat tanpa diundang begitu saja.
Dengan perlahan Gajah Mada beringsut
meninggalkan hutan bambu untuk kembali ke tempat seharusnya dia melakukan
semedi yang tertunda. Beranjaknya Gajah Mada yang tiba-tiba mengejutkan Luh
yang berdiri di depannya. Luh merasa hatinya diremas begitu kuat setelah
sekejap lalu merasa berbunga atas perkataan Gajah Mada.
Sejatinya Luh pun memiliki perasaan yang
sama. Kepopuleran Gajah Mada menjadi sorotan gadis-gadis seantero Nusantara,
bahkan para ibu dan janda pun tak ketinggalan mengharapkan dapat bersanding
dengannya. Sejak Gajah Mada datang ke pedukuhan milik sang ayah, Ki Dukuh
Gedangan hatinya telah terpasung pada kegagahan dan kebijaksanaan Gajah Mada.
Seorang Patih yang meski telah menaklukkan Bali namun tetap santun bersikap
pada rakyat. Tidak memiliki sedikitpun kesombongan dalam dirinya. Namun Luh
tahu bahwa mungkin saja baginya tidak ada kesempatan untuk itu. Sumpah Palapa
yang diucapkan Gajah Mada membuatnya patah harapan.
***
“Aku tidak bisa menjanjikan apapun
nanti, untuk saat ini hatiku sepenuhnya milikmu”. Gajah Mada menggenggam erat
jemari Luh saat mereka menghabiskan sisa senja di tepi tukad tempat semedinya beberapa hari berselang sejak Luh
memergokinya sedang mengintip.
“Aku tahu, yang penting selama kamu di
sini aku sepenuhnya milikmu”. Luh memandang lelaki itu dengan tatapan mesra.
Mereka memutuskan untuk membiarkan
perasaan mereka berbicara. Menghabiskan hari-hari berdua di sela-sela ritual
semedi Gajah Mada. Menikmati senja di pedukuhan dengan menghabiskan waktu di
tepian tukad, atau bersama-sama
berlatih kanuragan.
Gajah Mada memutuskan untuk menikahi Luh
Ayu Sekarini sebulan setelahnya. Dengan hanya prosesi pernikahan yang sangat
sederhana. Luh menggunakan kemben peninggalan ibunya dengan hiasan kepala yang
membuat Gajah Mada menelan liur memandang kecantikan yang memesona.
***
“Ada apa Luh, kamu sakit?”. Gajah Mada
memijit pelan tengkuk Luh yang sedari pagi memuntahkan apa saja yang baru
ditelan. Wajahnya pucat pasi. Perlahan Gajah Mada meminumkan air hangat untuk
mengusir mual. Lalu membopong Luh ke kamar.
Dengan berlari Gajah Mada menemui Ki
Dukuh Gedangan dan memberitahukan tentang kondisi Luh. Ki Dukuh Gedangan lantas
beranjak ke kamar Luh dengan membawa seorang tabib perempuan.
Tabib itu keluar dari kamar dengan
senyum mengembang. “Selamat, kamu akan menjadi seorang ayah”. Ditepuknya pundak
Gajah Mada pelan.
Mendengar itu Gajah Mada langsung
bersujud syukur pada Sang Hyang Widhi atas segala karunianya. Lalu beranjak
menemui Luh dan memeluknya. Kebahagiaan mereka lengkap sudah.
***
“Mada”, Ki Dukuh Gedangan memanggil
Gajah Mada suatu malam.
“Tiang4
Paman, ada yang bisa tiang bantu?”.
Gajah Mada menghaturkan sembah.
“Telik sandiku menemukan orang
mencurigakan sedang mengendap-endap di pedukuhanku tadi malam. Dia membawa
gulungan rontal5 dari
Majapahit. Ini untukmu. Bacalah!”, Ki Dukuh berpaling setelah menyerahkan
gulungan itu.
Gajah Mada segera membuka gulungan
lontar, dan seketika wajahnya gusar. Berjalan mondar mandir sambil memegang
dagu. Bimbang dengan berita yang tertulis dalam lontar dan bagaimana harus
bersikap. Rontal itu memberikan
perintah untuk kembali ke Majapahit segera. Rajapatni Gayatri sendiri yang
menuliskannya.
Sumpah untuk menyatukan Nusantara
menuntutnya kembali, namun dia tidak ingin lagi kehilangan orang yang sangat
dicintai. Sekali sudah cukup menyakitkan, karena kebodohannya Dyah Pitaloka
harus kehilangan nyawa. Haruskah kali ini dia pun akan kehilangan Luh. Apalagi
saat ini dia sedang berbadan dua, yang adalah anaknya.
***
Luh mendengar datangnya rontal dari ayahnya tak lama setelah
lontar itu diterima oleh Gajah Mada. Seketika itu pula dia terduduk tanpa daya.
Hatinya bimbang, bagaimana harus membawa diri. Sedang dalam tubuhnya sedang
berkembang janin dari Gajah Mada, buah hati mereka. Perlahan Ki dukuh Gedangan
merengkuh Luh dalam pelukannya. Menularkan kedamaian dalam tiap mantra yang
coba dia lantunkan. Menggenapi malam dengan kidung pemuja Sang Hyang Widhi.
Menularkan kekuatan untuk bertahan, apapun yang akan terjadi nanti. Ki Dukuh
Gedangan sangat faham, putrinya bukan gadis sembarang. Sedari kecil sudah
dipaksa menjalani hidup dengan berat. Kehilangan ibu dan dipaksa berlatih
kanuragan di usia masih sangat belia.
“Om Trayam Bhakam Ya
Jamahe Sughamdin Pusthi Wardhanam Uhrwaru Kham Iwa Bhandhanat Mrityor Mukhsya
Mamritat6”.
Luh merapal doa pada Sang Hyang Widhi. Memohon keteguhan hati dan
terhindar dari kebimbangan untuk tiap keputusan yang akan dibuat. Lontar yang
datang dari Majapahit seperti putusan hakim untuknya. Perpisahan itu di depan
mata.
***
Tidak ada air mata yang tumpah. Luh
sudah berpasrah pada keadaan. Dia sangat mengerti, mencintai Gajah Mada dengan
semua keistimewaannya tidak akan semudah mencintai orang lain. Dia cukup tahu
diri untuk menepi. Perkataan Rajapatni Gayatri adalah perintah untuk Gajah
Mada. Sekuat apapun cinta mereka, Luh tahu saat berpisah sudah tiba. Dia hanya
mampu menatap tajam lelaki yang sangat dicintainya itu. Timpuh7 di depannya dengan jemari menggenggam jemarinya.
Mengucapkan sebuah permintaan yang membuat Luh bimbang.
“Ikutlah denganku ke Majapahit, biarkan
aku melihat anakku lahir dan tumbuh di dekatku”. Gajah Mada masih berusaha
membujuk Luh untuk ikut kembali bersamanya. Meski dalam hati dia sangat tahu
bahwa tempat Luh adalah di sini.
“Pergilah Mada, raga8 tahu persis apa yang aku inginkan”. Luh meremas
kuat jemari Gajah Mada, lalu beranjak meninggalkannya begitu saja.
Gajah Mada sigap berdiri dan menarik Luh
dalam pelukan. Lama. Tahu ini mungkin terakhir kalinya mereka bertemu. Luh
tidak akan meninggalkan Bali hanya untuk bertemu dengannya. Sebesar apapun
cinta yang ada di hati Luh untuknya.
Pelukan itu merenggang saat terdengar
kidung mulai didendangkan oleh ratusan burung yang melintas di atas kepala
mereka. Perlahan Luh beranjak, pergi tanpa menoleh lagi. Baginya sekali Gajah
Mada pergi selamanya mereka tidak akan bertemu lagi. Luh sudah cukup dengan
kebersamaan mereka selama empat bulan ini. Cintanya terbalas, itu saja. Tapi
dia tahu betul sebesar apapun cinta yang dia miliki tidak akan mampu menahan Gajah
Mada pergi. Majapahit adalah jiwanya. Cepat atau lambat perpisahan akan
terjadi. Luh mengerti meskipun Gajah Mada mengajaknya pergi bersama, tapi
mereka tidak akan lagi sama. Di Majapahit Luh tidak akan menjadi siapa-siapa
bagi Gajah Mada. Ambisinya untuk menyatukan wilayah Nusantara dalam genggaman
Majapahit adalah yang utama, ditambah sumpah yang diucapkan sudah seperti
mantra yang menolak semua hal yang memberatkan langkah Gajah Mada. Luh tahu
dengan ikutnya dia ke Majapahit hanya akan memberatkan langkah Gajah Mada. Dia
tidak ingin itu terjadi.
Maka disimpannya semua kenangan yang
telah terlewat erat-erat dalam hatinya. Nanti bersama dengan buah hati yang
masih dalam kandungannya akan dilewatinya hari-hari tanpa Gajah Mada di
sisinya. Cukup sudah. Dia akan bahagia dengan segala kenangan, dan seorang
bocah yang akan menggantikan peran Gajah Mada untuk menemaninya melewati sisa
hari. Setelah ini hati akan dia tutup rapat.
***
Seorang lelaki berjalan dengan gugup
melewati purawaktra9. Matanya
menyapu bersih bangunan istana yang membentang di depannya, terperangah. Di
sampingnya seorang prajurit memperhatikan tingkahnya dengan senyum dikulum.
“Percepat langkahmu anak muda,
pekerjaanku masih banyak”.
Lelaki itu bergegas mempercepat langkah.
Di genggaman tangannya sebuah rontal
dipegang begitu erat, semacam sertifikat jaminan untuk keamanannya datang ke
sini.
Mereka tiba di Bale Manguntur10 setelah beberapa saat berjalan.
Prajurit itu langsung menghadap pengawal yang menjaga di sana.
“Tunggulah sebentar, dia akan segera
tiba, aku harus kembali ke tempat jaga”.
Lelaki itu kemudian asal bersimpuh di
sudut. Menyembunyikan diri dari tatapan para pengawal yang terlihat curiga
melihatnya.
Seorang lelaki bertubuh gempal keluar
dengan langkah panjang-panjang. Menarik paksa sang lelaki dan memeluknya erat.
Airmata menetes tanpa disadari di matanya. Rindu itu bergejolak memenuhi dada.
Sesak. Tigabelas tahun bukan waktu yang sebentar.
“Anakku, akhirnya kamu datang juga, aku
sudah menunggumu sejak lama”. Gajah Mada melepas pelukan dan memandang lelaki
itu, anaknya bersama Luh Ayu Sekarini yang saat
ini ada di hadapannya.
“Ayah tahu ini aku?”. Arya Bebed
mengusap ingus dari hidungnya. Bahagia.
“Tentu saja, kamu sangat mirip dengan
ibumu, bagaimana kabarnya sekarang?”. Gajah Mada menuntun Arya Bebed untuk
berjalan bersisian menuju kediamannya di istana. Sepanjang jalan itu
perbincangan mengalir begitu saja. Arya Bebed sangat gembira dapat bertemu
dengan sang ayah. Dengan begitu janji ibunya sudah paripurna, mengirim sang
anak kembali ke Majapahit untuk hidup bersama sang ayah. Itu adalah wujud cinta
paling dalam yang bisa ibunya berikan.
___________________________________________________________________________
Tukad1 , Bali, sungai
Sire
nike?2, Bali, siapa kamu?
Wilwatikta3,
Nama
lain Majapahit
Tiang4,
Bali, Saya
Rontal5,
Jawa
Kuno, berasal dari dua kara ron yang
berarti daun, merupakan lembaran daun tal
yang digunakan sebagai alat mencatat
Om Trayam Bhakam Ya
Jamahe Sughamdin Pusthi Wardhanam Uhrwaru Kham Iwa Bhandhanat Mrityor Mukhsya
Mamritat6 Sansekerta, Oh Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha
Mulia. Kami Memujamu, Hindarkanlah Kami Dari Keraguan Ini. Bebaskanlah Kami
Dari Belenggu Dosa, Bagaikan Mentimun Lepas Dari Tangkainya, Sehingga Kami
Dapat Bersatu Denganmu.
Timpuh7, Jawa, duduk bersimpuh
Raga8
, Bali, kamu
Purawaktra9,
pintu
gerbang utama Majapahit
Bale
Manguntur10, Balairung Majapahit
Demikian cerpen yang saya tulis. Teman-teman menikmatinya?
Jangan lupa krisannya saya tunggu ya sebagai perbaikan ke depan. Sampai jumpa di cerpen-cerpen saya yang lain.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete