Daun jati kering
menguar di depannya. Hutan jati yang tadinya rimbun, kini meranggas gersang
panas tak terkira. Kemarau tahun ini memang tergolong lama. Namun terik tak
membuatnya ingin untuk beranjak.
Adalah Jati,
sesosok lelaki yang entah bagaimana mengisi hatinya dengan penuh sejak
pertemuan pertamanya di hutan jati ini setahun berlalu. Lelaki itulah yang
memberinya alasan duduk termenung di antara jajaran pohon jati yang kian
meranggas setiap hari selama setengah kalender berjalan.
Gadis itu tetap
terjaga, menunggu baginya bukan hal yang membosankan, pun menyedihkan.
Sekalipun tak pernah ada pikiran negatif atas perginya Jati dari hidupnya. Dua
kata dari Jati cukup membuatnya tenang dengan kenangan indah mereka berdua.
Tunggu aku. Hanya itu yang diucapkan Jati padanya. Dan itu saja cukup
membuatnya bahagia.
Jati yang mau
menerima dirinya apa adanya. Gadis dengan candala yang begitu parah. Yang
menghindari manusia seperti menghindari dirinya. Jati yang mampu mengangkat
keadaannya hingga kini diri sendiri tak menakutkan baginya. Jati yang
membuatnya memiliki pemikiran indah tentang dirinya yang tak lagi sendiri. Jati
yang baginya segalanya. Maka dibiarkan saja waktu berlalu seiring musim yang
berganti. Gadis itu tetap menunggu tanpa layu. Dimatanya tetap terpancar rona.
Renjana bukan penjara baginya, namun asa yang meyakinkannya akan hadirnya
kembali Jati disana.
Hm, sederhana memang, tapi, kok nyesek ya.
ReplyDeleteaku itu mbak kelemahannya nggak bisa bikin cerita yang fokus trus selesainya ada makna. selalu ambyar.
ReplyDeletegimana ya biar tulisannya jadi bermakna?
Hm, saya juga suka gitu sih mbak.
ReplyDeleteSiasatnya kalau saya nempatin diri untuk jadi tokoh utamanya, masuk ke cerpen, yah, seolah kita yang ngalamin hal itu.
Paling penting, selesai nulis dibaca ulang dan revisi kalau memang dirasa ada yang kurang.
Oh iya, saya juga suka nulis cerpen atau cerbung endingnya dibuat gantung. Hihihi ....
Awalan yang menarik kak. masyaallah
ReplyDelete😍
ReplyDelete